Meneguk Damai di Boudhanath
December 24, 2020
Stupa yang dipercaya ada sejak abad ke-5 ini merupakan stupa terkuno, terbesar dan termegah bukan hanya di Nepal tapi juga di dunia
Kami berjalan mengikuti arus bersama para biksu juga peziarah. Terdengar lonceng berdenting bergantian. Aroma dupa. Om mani padme hum mengalun damai di udara bersamaan gerak khusyuk para peziarah mengelilingi Boudhanath.
Boudhanath yang masuk dalam situs warisan dunia UNESCO dipercaya ada sejak abad ke-5, merupakan stupa terkuno, terbesar dan termegah bukan hanya di Nepal tapi juga di dunia. Stupa berbentuk melingkar dengan warna warni doa menggantung diujungnya sering dijadikan simbol ikonik wisata di Nepal.
Ujung stupa bertingkat berwarna keemasan, mata sang Budha menatap seluruh penjuru mata angin, bendera doa warna warni menggantung di langit langit yang dipercaya membawa doa dan mantra berhembus hingga ke surga, semua sirna dihempas gempa dahsyat pada bulan April 2015. Kini tergantikan sementara oleh tangga besi yang digunakan pekerja untuk renovasi. Stupa yang menjulang 36 meter kini hanya meninggalkan bagian badan yang berbentuk setengah bola.
Meski bagian atap stupa telah hancur namum semua itu tidak merusak kekhusyukan para peziarah beribadah. Berjalan damai memutari Boudhanath searam jarum jam. Tangan mereka memutar tasbih sembari mengucap mantra dan doa. Sesekali mereka berhenti memutar silinder doa pada dinding stupa. Mereka menyakini siapa saja yang berdoa dan bersujud di stupa akan mendatangkan karma baik yang akan memujudkan semua keinginan.
Foto Boudhanath setelah renovasi (sumber : wikipedia) |
Atmosfir yang ditawarkan Boudhanath seolah membawa kita berada di negeri atap dunia, Tibet. Diantara para peziarah banyak beretnis Tibet dengan mengenakan pakaian khasnya. Biksu berpakaian merah marun ala Dalai lama. Kedatangan para pengungsi Tibet di Nepal memunculkan banyak Gompa atau biara Tibet di sekitar Boudhanath. Atmosfir yang sama mengigatkan saya akan Dharamsala yang saya kunjungi beberapa tahun yang lalu. Kota yang berada di kaki Himalaya, India merupakan tempat Dalai lama hidup dalam dalam pengasingan. Di kota inilah saya diberikan kesempatan untuk bertemu dan berbincang dengan Dalai lama.
Langkah kaki membawa kami menuju sebuah vihara besar di Boudhanath. Dua buah lonceng berukuran besar berdiri tegak di antara kedua pilar. Sesekali lonceng di ketuk. Dentingan terdengar ke langit langit.
Masuk kedalamnya aroma dupa semakin pekat, kami disambut sebuah silinder doa bertulis aksara Tibet berukuran jombo. Najin menatap takjub ke silinder doa yang berputar. Sesosok nenek muncul dari balik silinder doa, mengucap mantra, memutari dan menggelindingkan silinder doa. Najin langsung mengikuti. Saya biarkan dengan isyarat tangan ke mulut yang berarti jangan berisik. Dia berjalan mengitari dengan menatap takjub silinder doa yang berputar lebih cepat karena putaran tangannya.
Berjalan menuju lantai atas Vihara, dari sini kami bisa melihat nyata kerusakan parah pada bagian atap stupa Boudhanath. Dari sini pula terlihat arus seluruh peziarah mengelilingi Boudhanath. Nampak seperti orang bertawaf. Bedanya, Umat Muslim mengelilingi Ka’bah berlawanan dengan jarum jam.
Kami menemukan hal menarik lainnya, tempat pembuatan lilin. Cairan bahan lilin dari sebuah ceret dituang pada cawan berukuran kecil kecil. Di dalam cawan kemudian diletakkan sumbu penyala. Lilin yang sudah dinyalakan diatas sebuah nampan berukuran besar kemudian didistribusikan ke seluruh vihara di sekitar Boudhanath.
Keluar Dari Vihara, terdengar nyaring suara doa dilantunkan bersamaan. Mengikuti arah datangnya suara yang mengarahkan kami pada sebuah tenda berukuran besar. Didalamnya beberapa biksu dan juga peziarah duduk bersama berdoa. Pada sebuah dinding terpajang sederet foto biksu suci, salah satunya Dalai Lama.
Kami mengunjungi beberapa Vihara kecil dan juga dompa di sekitar Boudanath. Banyak patung sang Budha didalamnya, foto foto para biksu suci, lilin dan dupa menyala. Para biksu berdoa. Ada yang terdiam sembari membaca kitab suci. Di tempat lain seorang biksu melantunkan doa dengan irama seperti sebuah nyayian. Sesekali datang penziarah membawa makanan untuk diberikan kepada biksu dan juga untuk sajian di meja altar sang Budha.
Kegembiraan berada di Boudhanath bagi kami adalah kedamaian, sedangkan bagi Najin adalah keberadaan kumpulan burung dara. Banyak sekali jumlahnya.
Sebelum balik ke hotel, kami mampir ke toko souvenir untuk membeli celana khas Nepal. Tak lupa kami menyantap mie goreng ala Tibet di sebuah restoran dekat Boudanath.
Menyudahi hari berkeliling mengunjungi wisata di Kathmandu seharian, mulai Swayambhunath, Telusuri Patan Durbar Square, Menatap Kematian di Kuil Pashupatinath dan Boudhanath, betapa negeri yang berjuluk negeri seribu dewa ini memiliki toleransi beragama yang tinggi. Kuil agama Hindu berdamping mesra dengan Stupa agama Budha. Mereka beribadah tanpa terusik satu dengan lainnya. Damai
4 $type={blogger}
nice artikel bro
ReplyDeletethanks
DeleteSeneng yaaa kalo ketemu yang begitu. Bisa rukun, walo berbeda .. stupanya setelah renovasi baguuuuuuus, apalagi ada sunset di kejauhan. Duuuh beneran pengen kesana nanti :D. Aku lgs keinget Ama kuil di Myanmar..
ReplyDeleteSemoga soon bisa kesana setelah corona berlalu
Deleteiya, stupa stupa ini hampair sama bentuknya