Kuil suci agama Hindu yang berada di tepian sunga Bagwati dikenal sebagai tempat pembakaran jasad paling sakral di Nepal
Perjalanan jelajahi wisata di sekitar Kathmandu masih berlanjut. Setelah jelajahi kota kuno Patan Durbar Square, menjelang sore kami menjejakkan kaki menapak di Kuil Pashupatinath. Sebuah kuil kuno yang masuk dalam situs warisan dunia UNESCO. Di sinilah manusia dihantarkan menuju alam kematian.
Lalitpur terkenal sebagai kota yang sangat artistik dengan segudang karya seni yang dipersembahkan untuk para dewa, salah satu tempat yang paling terkenal adalah Patan Durbar Square
Berbeda dengan pagi hari ketika kami meninggalkan hotel menuju Swayambhunath, wajah Kathmandu masih dibelai dalam tidur. Tak banyak aktifitas warga. Jalanan lengang. Siang ini, dari Swayambunath menuju Patan durbar square, membelah kota Kathmandu di antara debu malayang terdengar riuh suara klakson. Sapi lempeng aja berjalan santai, anjing berkeliaran, hal yang biasa kita temui di negeri berjuluk seribu Dewa.
Kabut tipis diakhir musim dingin membuat pemandangan kota Kathmandu tampak kelabu. Sesaat nampak sendu. Apalagi negara dibawah dekapan Himalaya ini porak poranda diterjang gempa. Beberapa bangunan terlihat runtuh. Meski demikian, hal tersebut tak menyurutkan semangat kami menjelajah kota. Ditambah lagi dekapan hawa sejuk membawa angin segar tersendiri.
30 menit berlalu sejak meniggalkan Swayambhunath, kota kuno Lalitpur dengan segala keunikannya terlihat dari balik kaca mobil. Diantara riuh kendaraan dan suara klakson, mas sopir mencari tepat parkir. Kami tinggal berjalan kaki sebentar. Membeli tiket masuk yang berada dekat gerbang utama.
Lalitpur terkenal sebagai kota yang sangat artistik. Sebagian karya seni yang dihasilkan dipersembahkan untuk para dewa. Tak heran di kota ini banyak ditemui deretan kuil dan vihara. Dan salah satu yang paling terkenal yang kami kunjungi saat ini adalah Patan Durbar Square.
Bersama dengan Kathamandu durbar square dan Bakthakpur durbar merupakan tiga durbar square yang bersemayan di lembah Kathmandu. Ketiganya merupakan situs warisan UNESCO. Patan durbar square dipercaya ada sejak abad ke 3 SM oleh dinasti Kirat. Pada abad ke 6 wilayah kota diperluas oleh Licchavis, sebuah kerajaan kuno berasal dari India. Selanjutnya diperluas lagi oleh Raja raja Mala di abad pertengahan.
Menatap sekeliling Patan durbar square, sisa gempa yang meluluhlantahkan Nepal beberapa bulan yang lalu masih tersisa. Beberapa kuil dan bangunan disanggah kayu, ada yang rusak parah. Beruntung masih banyak bangunan kuno yang masih tegak berdiri. Meski demikian tak mengurangi arsitektur seni dan keunikan peradaban kuno Patan durbar square yang masuk dalam World Herritage UNESCO.
Patan durbar square yang menjadi pusat kegiatan agama Hindu dan Budha. Memiliki 136 “bahals” atau halaman serta 55 kuil utama dan deretan istana raja raja Mala. Deretan kuil berada di sisi Timur berhadapan dengan deretan istana raja bergaya newari yang berada di sisi Barat.
Sebelah kiri deretan kuil dan sebelah kanan Istana raja raja Mala
Bersama dengan gerak riang burung dara berterbangan di langit langit, Chyasim Deval krishna Temple berdiri tegak menyambut setiap penunjung memasuki area Patan Durbar Square. Kuil dibangun pada tahun 1723 oleh raja Vishnu Malla. Sedangkan menurut Michael hutt, seorang professor ahli tentang Nepal dan Himalaya, kuil didirikan oleh Yogamati, putri Raja Yognarendra (1685-1705).
Kuil terbuat dari batu hitam. Bagian depannya dijaga dua patung singa. Sesuai dengan namanya “Chyasim” atau “Chyasing” yang berarti 8 sisi merujuk pada bentuknya oktagonal. Terdiri 3 tingkatan, lantai dasar dihiasi dengan lengkung lengkung kolom nan artistik. Sedangkan bagian atas kubah dikelilingi kubah kubah kecil. Mirip dengan seni arsitektur kuil yang biasanya saya temui di India. Gaya arsitektur Chyasim Deval Krishna ini nampak berbeda dari kuil kuil tradisional lainnya di Nepal yang biasanya berbentuk khas Newari.
Bersebelahan dengan Chayim Deval Krishna terdapat sebuah pelataran. Ditengahnya berdiri sebuah genta menggantung pada dua buah tiang dengan dekorasi unik diatasnya. Genta berukuran besar dikenal dengan Taluja bell. Menurut sejarah, genta yang dibangun pada abad ke-17 oleh Raja Vishnu Malla ini dahulunya dibunyikan saat rakyat ingin mengadukan keluhan kepada sang raja. Atau dibunyikan saat ada keadaan genting. Saat ini genta hanya dibunyikan pada saat perayaan festival saja.
Chyasim Deval krishna Temple Dan Taluja bell |
Melangkahkan kaki selemparan mata, sebuah bangunan yang nampak hanyalah sebuah kotak tingkat tiga. Sebelum diratakan oleh gempa bumi beberapa bulan lalu, disini berdiri Kuil Hari Sankar. Sayang, kuil bersejarah berusia 300 tahun ini tersisa hanya pondasinya saja.
Vishu Temple berdiri tegak disebelah kuil Hari Sankar seolah menunjukkan keperkasaannya di hatam oleh Gempa. Kuil yang dibangun pada tahun 1590 ini dipersembahkan untuk pemujaan Narasimha, reinkarnasi Dewa Wisnu sebagai manusia berkepala singa.
Melangkahkan kaki, sebuah kuil kecil bergaya newari, saya lupa namanya. Dan di sebelahnya lagi sebuah kuil yang hanya berupa pondasi saja. Sebelum gempa menyapa, diatas ini berdiri sebuah kuil Char Narayan juga dikenal dengan Kuil Jagannarayan. Merupakan kuil tertua di patan Durbar Square yang dipercaya ada sejak 1565.
Di depan Vishnu Temple hingga Char Narayan terdapat sebuah pelataran cukup luas. Bisa dibilang pelataran utama dimana turis serta warga lokal, berdiri menatap sekeliling atau sekedar duduk santai, bercengkrama sambil menatap istana yang berada di sisi Barat. Di tengah pelataran ini berdiri tegak sebuah pillar, di puncaknya terdapat patung Raja Yognarenda Mala sedang bersimbuh menghadap istana. Dibelakang patung sang raja sebuah naga bediri melindungi. Epik!
Melangkah lagi menuju Krishna temple yang berada di sisi Char Narayan. Berwarna abu abu, bentuknya mirip dengan kuil yang berada di depan Chayim Deval Krishna, tapi lebih cantik dan artistik. Sesuai dengan namanya, kuil yang dipersembahkan untuk Dewa Khrisna ini dibangun pada tahun 1667 oleh raja Siddhi Narsingh Mala. Menurut cerita, suatu malam sang raja melihat Dewa Krishna berdiri di depan halaman istananya. Sejak saat itu, beliau memerintahkan untuk membangun kuil tepat di tempat Dewa Khrisna menampakkan diri.
Menariknya saat saya datang kemari bersamaan dengan sebuah acara pemotretan di Krishna temple. Atau sedang shooting sebuah film, entahlah. Seorang model berpakaian tradisional. Dengan riasan khas dengan mata merah di dahinya. Mengingatkan saya akan riasan Kumari Dewi, sang dewi hidup yang dianggap suci oleh masyarakat Nepal. Banyak lampu dan kamera menyorot kearahnya. Saya berhenti sebentar untuk menikmati suguhan menarik mata.
Setelah menyaksikan pemotretan, hasrat hati ingin masuk kedalam kuil menuju hingga lantai atas. Tangganya sedikit curam. Nuansa gelap terlihat. Beberapa bunga dan serbuk merah pemujaan terlihat pintu masuk yang tak seberapa tinggi. Melihat hal tersebut Najin langsung menolak. Tidak mau memaksa, saya cukup menatap hiasan ukir kuil dari luar, dimana lantai pertama kuil menceritakan tentang kisah Mahabarat dan kisah Ramayana di lantai dua.
Bersebelahan dengan Krishna Mandir berdiri Kuil Vishwanath yang dibangun awal abad ke 17. Seperti halnya Kuil lain bergaya newari, Kuil dijaga oleh dua sepasang gajah di pintu masuk. Kuil yang terdiri dua lantai ini didesikasikan untuk dewa Siwa. Didalamnya terdapat lingga yang hanya bisa dilihat oleh penganut agama Hindu yang sedang beribadah. Yang menarik dari kuil ini adalah ukiran kayu dengan detail rumit menggambarkan berbagai gaya bersenggama. Berhubung saya datang bersama Najin, cukup melirik curi curi pandang. Coba kalau datang sendiri atau sama pasangan pasti menamatkan kamus aneka gaya sebagai inspirasi bercinta. Ups…..
Seperti yang saya tuangkan di awal, Patan durbar square memiliki banyak kuil vihara dan istana untuk dijelajah. Mata dan kaki masih menikmati. Nah, sampai di ujung durbar square bagian Timur ini masih ada beberapa kuil, salah satunya adalah kuil Bhimsen. Yang istimewa dari kuil berarsitektur newari 3 tingkat ini adalah keberadaan tiga jendela emas. Ukirannya tentu saja artistik dengan detail rumit yang menjadi ciri khas Newari. Kuil yang didirikan abad ke 16 oleh Raja Srinivasa Malla ini dipersembahkan kepada Dewa untuk kelancaran bisnis dan perdagangan.
Entah suatu kebetulan atau memang dirancang sedemikian, tepat didepan kuil terdapat sebuah pasar seni yang menjual berbagai souvenir khas Nepal. Saya yang menyukai berbagai benda dan pernik pernih unik tradisional menyempatkan cuci mata. Sementara Najin seperti biasa sibuk dengan segerombolan burung dara.
Kegembiraan kami berada di kota tua Patan durbar square belum berakhir. Berderet dengan pasar seni yang berada di sebelah Barat masih ada istana yang luas dan bangunan kuno yang memiliki fungsi khusus. Salah satunya Manga Hatiti, yang letaknya bersebelahan dengan pasar seni. Pada abad itu hingga saat ini tempat kuno ini berfungsi untuk megambil air. Letaknya lebih rendah dari beberapa bangunan lain. Untuk mengambil air terdapat tiga buah pancuran dengan design bebatuan hiasan yang unik. Sangat disayangkan pada saat saya berkunjung kesini air keruh kehijauan, rusak karena gempa. Semoga aliran air dapat berfungsi kembali sehingga penduduk dan juga wisawatan asing bisa menikmati kesegaran air.
Manga hatiti dibatasi oleh sebuah tembok istana. Pintu istana ini berada di depan patung Raja Yognarenda Mala. Saat ini istana berarsitektur Newari dua tingkat ini beralih fungsi menjadi museum. Menyimpan berbagai macam benda benda kuno yang asyik untuk dicermati.
Bagian dalam istana seperti halnya sebuah istana terdiri atas beberapa ruangan dengan fungsinya masing. Di sanggah dengan deretan pilar kayu berukir cantik. Ditengah istana membentang sebuah halaman terbuka.
Istana yang dahulunya digunakan sebagai tempat tinggal Raja Raja Mala ini luas. Membentang panjang di sisi Barat. Behadap hadapan dengan deretan kuil yang berada di sisi Timur. Kami Jelajahi bagian dalam istana hingga mendekati lagi pintu gerbang saat kami masuk.
Sebenarnya Patan memiliki beberapa gerbang untuk memasukinya, bahkan ada banyak jalan tikus tanpa bayar tiket masuk. Saran saya, tetaplah bayar tiket karena uang yang masuk digunakan untuk memelihara bangunan. Termasuk saat gempa saat ini, tiket yang kita bayarkan akan digunakan untuk merenovasi dan memperbaiki bangunan yang rusak.
Setelah puas menikmati arsitektur bangunan kuno dan sejarahnya, kami melamaskan kaki dengan duduk santai di halaman depan istana. Nongkrong bersama penduduk lokal dan turis sambil menatap lagi keunikan keseluruhan kuil dan istana di Patan durbar square.