Menghirup Aroma Magis dan Religius Di Kuil Tua Swayambunath
November 03, 2020
Bertengger di puncak lembah Kathmandu, Swayambunath yang juga dikenal sebagai Monkey temple merupakan salah satu kuil tertua di Nepal
Hari kedua berada di Kathmandu. Lumayan banyak tempat wisata yang akan kami kunjungi hari ini. Kebanyakan wisata kota tua bersejarah, kuil dan stupa. Lokasi wisata satu dengan yang lain jaraknya tidak berjauhan dan berada di sekitaran Kathmandu.
Mengingat saya datang bersama Najin, anak saya yang saat itu masih berusia 9 tahun, menyewa mobil menjadi pilihan yang tepat untuk jelajahi tempat wisata. Saya menyewa mobil dari hotel yang kami tempati. Itineray perjalanan keliling wisata sekitar Kathamndu hari ini pun anjuran dari hotel. Nurut saja.
Pagi itu setelah sarapan omelet, roti dan selai di hotel, kami ngobrol sebentar di ruang makan sambil sesekali melirik mas mas bule di meja sebelah. Bukan, bukan cari perhatian. Mereka sibuk bercerita tentang pendakian yang menyenangkan menapaki kaki atap dunia. Hal yang ingin saya lakukan tapi harus saya lupakan untuk sementara waktu.
Roda mobil bergerak meninggalkan hotel. Menjauh dari kawasan Thamel. Menapaki jalanan Kathmandu yang berdebu dan nampak lebih lengang pagi itu.
Setelah limabelas menit perjalanan meninggalkan pusat kota Kathmandu ke arah Barat, jalanan mulai naik, berkelok memeluk perbukitan. Menghampar lembah Kathmandu di kaki bukit. Hawa sejuk di akhir musim dingin terasa semakin sejuk.
Setelah tiket masuk berada di tangan, kaki penuh semangat menapaki komplek kuil tua Swayambunath. Bendera doa warna warni menggantung menghias langit langit kuil. Simbol keagamaan menghiasi disetiap sisi. Nuansa religius menyelimut kuil yang dipercaya sudah ada sejak 464-505 M. Merupakan salah satu kuil tertua yang berada di Nepal.
Disambut sebuah patung sang Budha berdiri diatas bunga teratai. Dari tanganya mengeluarkan air yang jatuh diatas kolam perdamaian yang mengelilinginya. Beberapa penziarah sibuk berdoa. Sebagian lain dan anak anak sibuk melempar koin kedalam guci dekat kaki sang Budha. Mereka percaya, jika koin masuk kedalam guci, setiap doa dan permintaan akan dikabulkan, juga membawa keberkahan dan kelancaran rezeki.
Melihat hal tersebut Najin riang dan gegas menuju ke kolam perdamaian. Meminta uang koin kepada saya. Untung saja di sebelah ada beberapa penukaran uang koin. Saya mencoba melempar, nggak berhasil. Selebihnya Najin yang asyik mencoba melempar hingga koin habis. Dan tak satupun masuk kedalam guci.
Di sebelah kanan kolam dengan menapaki beberapa anak tangga terdapat beberapa patung sang Budha berwarna putih. Berukuran lumayan besar. Berdekatan dengan patung, sebuah lonceng berukuran jumbo berdiri. Penziarah bergantian membunyikannya. Dentinganya merayap ke seleluruh bukit hingga ke lembah.
Patung Sang Budha berwarna putih ini bukanlah stupa utama. Swayambunath, kuil utama masih berasa di atap bukit. Kami terus berjalan menyusuri anak tangga yang landai menuju kuil utama.
Menapaki tangga ada panjual kelapa dan timun yang sudah di potong potong. Iya, di Nepal maupun India, kelapa dan timun dijual layaknya buah iris di Indonesia. Dan itu kesukaan Najin.
Saya membeli masing masing dua buah. Camilan sehat. Lagi enak enak makan, tetiba dua ekor kera menyambar timun. Auto kaget. Lanjut tertawa, sementara Najin masih ketenggengen. Emak macam apa saya ini, anaknya mengalami hal menengangkan, malah ketawa membahana. Saya bilang tidak apa apa, kita berbagi rezeki sama kera agar Najin lebih santai. Tapi dianya masih takut karena beberapa kera masih mengintai timunnya. Akhirnya dia memberikan semua buahnya kepada kera. Dan berhasil membuat dia meringis.
Keberadaan kera membuat Swayambunath dikenal sebagai monkey temple. Menurut cerita kera kera sakti ini merupakan transformasi dari kutu kutu yang tumbuh dirambut panjang seorang Boddisattva baik hati yang menemukan lembah Kathmandu. Lokasinya yang rindang dengan rimbun pepohonan membuat kera betah tinggal disini. Keberadaanya tidak terlalu mengganggu, hanya saja sebaiknya dihindari bawa makanan yang menonjol.
Kami melangkahkan kaki melewati anak tangga landai menuju kuil utama Swayambunath. Untuk mencapai kuil utama Swayambunath ada dua akses jalan. Pertama, melalui gerbang Timur, melewati 365 anak tangga dengan kemiringan curam. Tangga ini langsung menuju lokasi yang disebut Vajra. Setiap pagi ratusan umat agama Budha menapaki tangga ini kemudian lanjut mengitari stupa dengan melantunkan mantra mantra.
Yang kedua, melalui gerbang Barat biasa dilalui dengan menggunakan mobil. Seperti yang kami lalui. Menuju kuil utama melewati tangga lebih landai dan santai.
Tibalah kami di Swayambhunath dengan beberapa pasang mata Budha menatap segala penjuru arah. Di atasnya terdapat mata ketiga Sang Budha yang menjadi Ikon Nepal. Dikenal sebagai mata pembawa pesan.
Di bawah sepasang mata sang Budha, sebuah hidung yang tergambar dengan satu lekukan. Representasi angka satu bagi Nepali yang menjadi simbol penyatuan. Sedangkan diatasnya terdapat tiga belas tingkatan berwarna kuning kemasan. Hal ini menggambarkan ada tiga belas tahap perjalanan spiritual yang harus dilalui umat Budha untuk mencapai tingkat Kebudhaan.
Bagian bawah sang Budha dikelilingi ratusan silinder doa. Biksu dan penziarah mengelilingi sang Budha searah jarum jam dengan memutar silinder doa dengan melapalkan mantra mantra.
Stupa utama Swayambunath dikelilingi banyak stupa dan candi berukuran lebih kecil dengan warna hitam batu kali. Aroma dupa menguar begitu kuat. Lilin dan dupa dinyalakan. Burung dara berterbangan di langit langit. Benar benar terasa damai, magis dan religius.
Di komplek Swayambhunath selain sang Budha juga terdapat beberapa kuil agama Hindu. Kuil suci ini konon berdiri sejak raja Pratap Malla memimpin Nepal. Bahkan sebagai penghormatan, raja membantu pembangunan tangga Timur pada adab ke-17.
Aktifitas keagamaan di depan kuil Hindu nampak begitu ramai. Penziarah datang bersama dengan keluarga tua dan juga anak anak. Membawa sesajen, berupa bunga, dedaunan, makanan, bubuk, dupa, kelapa dan banyak yang lainnya. Mereka berdoa, memecah buah kelapa kemudian pemuka agama mengoleskan bubuk orange di dahi penziarah.
Bagi saya dan beberapa wisatawan asing prosesi keagamaan ini menarik untuk diabadikan dalam jepretan kamera. Tentu saja tanpa mengganggu kekhusyukan beribadah. Ketika sibuk menfoto, tetiba seorang wanita penjaga berseragam berkata “No photo, please”. “Oh, I am really sorry” ucap saya dan juga wisata mancanegara lainnya. Selanjutnya kami menikmati proses keagamaan tanpa jepretan kamera.
Masing masing umat agama Hindu dan Budha berdoa, melantunkan puja dan puji tanpa merasa terganggung satu dengan yang lainnya. Mereka berdoa berdampingan dengan damai. Keharmonisan hidup hal yang biasa kita lihat di tempat tempat keagamaan di seluruh Nepal.
Kawasan kuil tua Swayambunath ini luas sekali, karena berada di puncak perbukitan, kita akan melewati banyak naik turun anak tangga menuju satu tempat ke tempat lainnya. Selain stupa dan kuil, di area komplek Swayambunath juga terdapat candi, tibetan monastry, perpustakaan dan juga museum. Menjadi pemandangan yang biasa melihat penziarah berdoa, menyalakan dupa serta menabur bunga. Biksu biksu muda belajar, berdoa dan ada yang bermain bola, semua terasa mempesona diabadikan dalam jepretan kamera. Ditemani rindang pepohohan, bendera bendera doa yang menggantung di langit langit, simbol simbol keagamaan di sepanjang tangga, lantunan mantra, lonceng menggema dari puncak hingga ke lembah, semuanya terasa mengalir begitu damai.
0 $type={blogger}