"Jauh dekat, singkat lama yang paling mengesankan dalam
sebuah perjalanan adalah belajar mentertawakan kehidupan”
“Aku
butuh nenangno pikiran”
“Aku
saiki nang Maduro. Longgo santai. Barusan nyebrang Suramadu”
“urip kok
koyok ngene yo…ya opo iki”
Percakapan dari balik ponsel terdengar berat. Sangat
berat. Dari Seorang bapak yang duduk
berpunggungan dengan kami diatas amben bambu.
Sama halnya dengan saya dan Najin, si bapak memilih
beristihat setelah melewati jembatan Suramadu. Penjual tahu petis dan es degan
dibawah rindangnya pohon keres menjadi pilihan kami beristirahat.
“Mosok
aku dituduh nyolong jam tangane …..”
“Mosok
aku sehina iku sih, sampek nyolong nyolong jam tangan barang”
“Mangakane,
aku saiki nang maduro, aku butuh nenango pikiran”
Pembicaraan semakin panas. Sepanas cuaca di Madura
meski memasuki musim hujan di bulan Desember.
Bapak penjual tahu petis sibuk dengan gadget. Ibu
penjual es bermain bersama anaknya. Lalu lalang kendaraan tak terlalu padat.
Lancar tanpa antri. Mengingat jembatan térpanjang di Indonesia ini digratiskan
sejak sebulan yang lalu.
Sebotol teh dan air mineral menjadi pelepas dahaga.
Membelah tahu goreng, kemudian melapisinya dengan gurihnya petis khas madura.
Sebuah camilan sederhana yang menyenangkan bagi saya.
“jalan jalan” dadakan tanpa rencana ini bermula dari
keinginan Najin, pingin naik kapal menyeberang pulau. Tanpa pikir panjang, pulau
garam, Madura, menjadi pilihan yang tepat karena dekat dengan rumah. Sekaligus
singkat.
Saya dan Najin berbicara lirih sembari mengunyah
gurihnya tahu. Lebih banyak dengan menggunakan kode. Bukan maksud kami
mendengarkan pembicaraan si bapak. Tapi kami benar benar tidak ingin menggangu
pembicaran.
Basa basi dengan nada rendah, saya bertanya ke bapak
penjual tahu petis, seberapa jauh dari sini menuju dermaga kamal. Apakah masih
banyak orang yang menyeberang? Apakah kapal ada setiap jamnya? Apakah menunggu
penuh hingga kapal jalan? rasanya sudah lama sekali tidak menyeberang ke Madura
menggunakan kapal semenjak jembatan Suramadau operasional.
Najin pingin segera lanjutkan jalan jalan menyusuri
pulau Madura. Saya menyudahinya dengan membungkus tahu petis untuk Ibu dirumah.
“Mending
dolen wae mobil karo omah iku”
“Dolen
sak payune, ben tenang aku”
‘Ojo
khawatir, aku sik pingin nenangno pikiran. Nang Meduro”
Si bapak menyudahi pembicaraan di telepon. Berbalik
dan menatap kearah kami. Dan saya menatapnya dengan senyuman. Di usianya yang
senja, sekitar 60 tahun. Masih disapa masalah kehidupan. Entah apa pun itu.
Cara dia berpakaian, menggunakan jaket, warna kulitnya
mengingatkan saya akan sosok Ayah. Tiba tiba pingin mberebes mili. Apalagi
dalam perjalanan ini, saya ingin mengenalkan sensasi perjalanan “lain” kepada
Najin. Seperti halnya Ayah mengajarkannya pada saya waktu kecil dulu.
Sensasi dperjalanan bersama ayah masih menempel
hangat dalam ingatan. Sejak masih SD, saya sudah merasakan ‘nikmatnya’ numpang
di truk. Naik bus. Touring dengan
motor. Perjalanan jauh dengan mobil. Melewati liukan gunung hingga ke bermain
main di pantai. Perjalanan bertemu dengan saudara, teman ayah juga sowan ke para Kyai atau sekedar jalan
jalan.
Hal ini yang membuat saya cinta sekaligus ‘tangguh’
menikmati berbagai moda kendaraan dalam setiap perjalanan. Khususnya touring dengan motor. Itulah mengapa di
usia menjelang 40 tahun saya masih suka touring
dengan motor.
Sejenak saya menelan ludah yang terasa mencekik
tenggorokan. Mengingat kembali kehidupan Ayah, kemudian melihat si bapak. Hal
ini menjadi pelajaran bahwa hidup akan terus menerus disapa masalah. Tak peduli berapapun
usia kita. Berani hidup berani menghadapi masalah. Disanalah kita belajar
dewasa dan bijaksana.
Si bapak bertanya sama penjual tahu “berapa jauh keramain kota Madura dari sini?”
Seiring jawab bapak penjual tahu. Saya meninggalkan
tempat peristirahatan. Melangitkan doa semoga masalah si Bapak terselesaikan dengan
baik.
Menatap hijau pulau Madura berteman pohon jati. Hamparan
pertanian. Rumah nampak jarang jarang.
Diatas motor melaju manja kami membuka memori.
Mengingat kembali perjalanan ke Madura ketika dia masih kecil dulu. Beberapa
dia ingat. Lebih banyak lupa. Terakhir kali menggunakan kapal Jawa Madura, ketika
itu Najin berumur satu tahun. Bersama Shah jahan dan temannya yang datang dari
India.
Dalam perjalanan sesekali kami berhenti. Bertanya
tentang arah jalan menuju pelabuhan Kamal kepada penduduk setempat.
“Jangan malu bertanya, biar nggak sesat di jalan”
“Kalau kebanyakan tanya?”
“itu artinya …ndelewer”
“Kayaknya dari tadi Ammy tanya tanya terus”
Dan jawaban itu membuat kami berdua ngakak so hard.
Karena saya terpaku dengan GPS di Google map, jadinya
lebih bingung. Hahaha. Bertanya kepada penduduk setempat ternyata lebih mudah.
Mereka menunjukkan jalan. Lengkap dengan penjelasan, ada kelokan, jalan naik
turun.
Najin juga mengingat jalan yang disampaikan oleh penduduk
setempat.
Tibalah kami sebuah jalanan naik turun dan di ujung
jalan kami melihat hamparan lautan.
Najin langsung teriak “belok kanan Ammy”
Hahaha. Ternyata dia ingat betul apa yang bapak tadi
katakan. Ambil jalur ke kanan untuk ke pelabuhan. Sedangkan kalau ke kiri
bakalan menuju tempat lain.
Menatap lautan. Perahu perahu kecil bersandar. Kapal
kapal besar pengangkut barang terserak di lautan. Menggoda kami untuk berhenti
sejenak.
Beristirahat dan menatap lautan. Roti isi coklat
kacang, ayam geprek yang kami bawah dari rumah tidak menarik perhatiannya. Dia
hanya menatap lautan. Menikmati pemandangan ditemani semilir angin segar.
Cukup beristirahat. Motor melaju pelan. Menyesap aroma
laut. Menikmat kehidupan masyarakat disekitar pelabuhan.
Tiba di dermaga pelabuhan kamal, kami membayar karcis sepeda
motor. Untuk kami berdua, cukup merogoh kocek Rp. 12.500 saja.
“Ayooo
mbak cepat cepat…kapal segera berangkat”
Dan benar saja, Setelah motor kami memasuki kapal.
Anjungan kapal langsung ditutup. Najin sejenak menyaksikan dengan seksama. Bagi
saya pemandangan yang biasa, tapi tidak bagi Najin. Dia menatap dengan
kehebohan tersendiri.
Kami naik ke atas kapal. Menebar pandang ke seluruh
kapal. Ada penjual buah dan lontong gule daging. Juga menjual berbagai minuman.
Diatas kapal kami bercengkrama. Tanpa kamera. Tanpa
memikirkan sosial media. Hanya ada kata dan panorama. Tentu saja … cinta.
Memang, sejak aktifitas menulis perjalanan di blog dan
juga media. Ketika jalan jalan bersama, saya lebih banyak ‘disibukkan’ dengan
aktifitas foto dan record video.
Najin pernah memprotesnya.
Sejak saat itu, ketika jalan jalan saya jarang membawa
kamera. Lebih banyak bermain dengannya. Tak peduli dapat konten. Tak peduli
lagi dapat video atau tidak. Yang terpenting adalah kebersamaan.
30 menit berlalu, kami menginjakkan kaki di Pulau Jawa
kembali. Pulang ke Gresik ditemani awan tebal yang siap menuangkan air ke Bumi.
Saya pacu kendaraan sedikit ngebut diantara padatnya kendaraan.
Puas. Kami ingin mengulang kembali touring berdua. Jelajah
pulau, overland, nyasar lebih jauh
lagi? Kemana? Semoga diberikan kelancaran rezeki. Semoga Semesta mendukung. Aamiin
15 Desember 2018