Di tengah gelapnya malam kami terpaksa keluar dari kereta di stasiun antah berantah
“Excuse me, this is our seat”
“But this is our seat also”
Tak ingin gaduh, saya menunjukkan tiket yang berada di tangan kepada rombongan cewek dan cowok yang menempati tempat duduk kami. Sementara kereta mulai berjalan meninggalkan statiun NDLS, Delhi, India.
“Yes, its correct, but how we have same seat “ ucap salah satu cowok diantara mereka.
“I don’t know” jawab saya setengah jutek dengan wajah lelah, karena kami barusan berlari lari menuju kereta karena hampir terlambat. Ketika kaki menjejak lantai besi, kereta mulai melaju.
Cewek dan cowok cakep dari keluarga berpendidikan dan memiliki tata krama yang baik ini kemudian meminta saya untuk menunjukkan tiket kepadanya untuk pengecekan ulang. Ticket yang tadi siang dibeli di konter khusus tourist asing di stasiun NDLS saya serahkan kepadanya. Dengan wajah serius dia mengecek keseluruhan tulisan di tiket.
“Madam, today is 24, and your train ticket is on 25, TOMORROW”
Duarrrr! Saya melotot tak percaya sambil memandangi tiket. Dan itu benar. Ya Allah, rasanya lemes, pingin pingsan. Belum juga nafas ini berjalan teratur karena adegan ngejar ngejar kereta, sekarang dihadapkan dengan situasi yang sungguh … emboh. Gimana tidak, malam itu saya travelling hanya bersama si kecil Najin dan Mbak Andri saja. Tanpa didampingi Shah jahan.
Ya Allah. Saya tenangkan denyut jantung yang mulai berdetak kencang. Saya melihat tempat duduk kosong disebelah. Saya meminta Najin dan mbak Andri Duduk. Didepan tempat duduk kosong ini sepasang suami istri yang memandangi kami dengan seksama. Mereka terlihat dari keluarga berpendidikan.
Kami duduk santai. Saya pasang senyum kepada mereka. Seperti biasa, ketika travelling dan berjumpa dengan hal hal menyesakkan dada, saya menghembuskan mantra jiwa dengan duduk santai sambil menenangkan pikiran. Tarik nafas dalam dalam dan berkata pada diri sendiri “Zulfa, semua akan baik baik saja”. Berulang kali!
Tapi kenyataanya … sungguh! kali ini saya tidak baik baik saja. Karena saya travelling di India tanpa Shah Jahan. Hanya bersama Najin dan Mbak andri yang baru pertama kali menjejakkan kaki di negeri Gandhi. Rasa khawatir dan tak aman mendekap.
Saya segera menelpon Shah jahan, sementara laju kereta semakin lama semakin kencang.
“Yaar, our train ticket for tommorow, not today”
“Allahu Akbar” ucap Shah Jahan kaget.
“Kya karu ?”
Akhirnya kami berbincang, bagaimana bisa petugas kereta api memberikan tiket untuk esok hari, sedangkan kami memintanya untuk hari ini. Dan begitu teledornya kami, ketika mendapat tiket langsung kami masukkan kedalam dompet. Tanpa mengecek ulang.
Ah, sudahlah. Tak ingin membicarakan hal yang sudah terjadi. Lebih baik hadapi situai saat ini. “Ok, you relax and try to talk with TT man” ucap Shah jahan diseberang telpon.
TT adalah petugas pengecekan tiket di kereta. Selama tinggal di India dan sering berpergian, saya sudah terbiasa dengan cerita tentang sistem perkereta apian di India. Mulai dari penumpang selundupan, tiket tanpa seat dan umpel umpelan, tips mendapatkan tiket kereta di India sampai cerita kenakalan petugas TT.
Berdasarkan pengalaman pribadi, saya sendiri pernah pergi dengan teman teman berbekal tiket tanpa seat. Dan … lolos!
Intinya, ada tiga rencana serangan maut agar saya tetap bisa naik kereta hingga stasiun Jammu. Pertama saya akan gunakan teknik memelas kepada petugas TT. Kedua, tekni menyogok, karena sudah jadi rahasia umum petugas TT sangat korup. Kalau tidak bisa, terpaksa ambil jalan akhir yaitu turun di stasiun pemberhentian pertama dan kembali ke Delhi. Dramapun dimulai.
Sambil menunggu petugas TT mengecek tiket, saya berbincang dengan pasangan di depan kami. Pasangan dengan usia mulai menua. Dilihat dari cara mereka berbicara sangat sopan dengan intonasi rendah. Tak seperti kebanyak orang india yang berbicara cepat dan keras. Kayak orang gegeran. Mereka terlihat berpendidikan. Apalagi logat bahasa Inggris mereka sangat enak didengar, nggak Hindi English.
Kami berbincang dengan segala kemungkinan. Beliau juga akan berusaha berbicara dengan petugas TT. Alhamdullilah, ingin rasanya memeluk si bapak.
Waktu yang ditunggu datang. Petugas TT datang mengecek tiket penumpang satu persatu. Si bapak di depan saya kemudian menjelaskan kepada petugas TT bahwa kami mendapatkan tiket kereta dengan jadwal yang tak seharusnya. Bukan kesalahan kami, tapi kesalahan ada pada petugas ticketing.
Mereka berbincang dalam bahasa Hindi. Saya sedikit mengerti apa yang mereka bicarakan. Petugas TT sering gedek dengan mimik muka keberatan. Petugas TT tidak bisa membantu karena malam itu kereta bakalan penuh. Karena esok bertepatan dengan sebuah festival besar yang diadakan di sebuah lembah di Kashmir.
Saya bilang, saya nggak masalah duduk di bawah bersama mbak Andri. Tapi paling tidak berikan tempat duduk atau tidur buat anak saya. Wajah memelaspun saya pasang dimuka. Dengan gedekan khas, dia tetap tidak bisa membiarkan kami melanjutkan perjalanan dalam kereta. Lemes!.
Beliau juga menjelaskan, jika masuk secara illegal akan kena denda dua kali lipat dari harga tiket. Apa? kami kan tidak illegal. Masak dipaksa bayar 2x lipat. Korup banget nih bapak. Ya, sutralah.
Saya tahu persis saya bisa tetap dalam kereta hanya dengan membayar beberapa uang sogokan. Tapi masalah utamanya, nggak ada tempat buat Najin. Dan saya nggak bisa membiarkan Najin duduk semalaman di lorong atau tidur dibawah kursi kereta.
Petugas TT pergi, tanpa tahu keputusan apa yang akan saya ambil.
Tidak ada pilihan lain selain turun dari kereta. Tapi turun dimana? Di stasiun apa? Dan jam berapa? Ya Allah.
Saya beritahu bapak di depan saya bahwa kami akan turun dari kereta di pemberhentian stasiun selanjutnya. Entah apa pekerjaan si bapak, beliau kemudian mengeluarkan lembaran kertas yang direkatkan pada papan ujian. Dalam kertas tersebut terdapat print list waktu dan nama stasiun pemberhentian kereta yang kami tumpangi.
“At around 11 PM, Next stop will be at Panipat Station in Haryana” itu berarti sejauh dua jam perjalanan semenjak meninggalkan stasiun di Delhi. Beliau juga bilang, Panipat hanyalah sebuah stasiun kecil, sangat berbeda dengan NDLS yang begitu ramai 24 jam non stop.
Saya kemudian menelpon Shah jahan memberitahu bahwa kami bakalan balik ke Delhi. Dan kereta kami berhenti di Panipat Station. Shah jahan bilang bahwa saya terus lanjutkan perjalanan dengan membayar uang sogokan untuk petugas TT saja. Saya menolak karena ketidakadaan tempat tidur buat Najin. Dan perjalanan juga masih panjang lagi, saya nggak mau dia kelelahan dan jatuh sakit.
Menghabiskan waktu hingga pemberhentian di stasiun pertama, kami berbincang. Pasangan baik hati menawari kami camilan. Kami berbincang banyak hal tentang kereta api, India dan lain sebagainya. Saya mendengarkan dengan baik. Si bapak tidak tahu kalau saya sudah tinggal lama di India.
Dari sini saya mendapatkan hal yang berharga bagi hidup, mungkin juga bagi teman teman yang sedang melakukan perjalanan di India. Beliau bilang, bahwa setiap stasiun memiliki station master, ialah kepala stasiun yang bertugas 24 jam. Kebanyakan mereka bisa bahasa Inggris. Jika perlu bantuan apapun, jangan tanya siapa siapa, langsung bertanya ke station master.
Beliau juga memberi wejangan, jangan berbicara dengan siapaun di stasiun nanti kecuali station master atau kepala stasiun. Mereka memiliki ruang sendiri. Kamu cari ruang tersebut dan berbicaralah dengan dia saja. Not anybody else. Ok, Fine.
Cara beliau menjelaskan situasi mengingatkan saya pada Shah jahan. Ketika akan bepergian sendiri di India atau sama teman. Dia bakalan menjelaskan situasi dengan detail. Sama persis.
Bapak berbadan kecil, berwajah lancip dengan kaca mata bulat ini sungguh baik. Di India yang keras, tak banyak orang bijaksana seperti dia dengan logat Inggris yang berbeda dengan orang India kebanyakan.
Tak hanya berhenti disitu saja kebaikan yang beliau tawarkan. 10 menit menjelang penurunan badan lelah kami dari kereta. Beliau sudah berdiri dan bersiap siap. Membantu membawakan ransel. Dan turut turun dari kereta dan bermaksud mengantarkan kami hingga bertemu station master.
Bersamaan dengan turunnya kami dari kereta, di platform lain datang sebuah kereta. Tapi apa mau dikata, sebelum sampai, peluit kereta menyiul begitu kerasnya, beliau bergegas karena kereta yang kami tumpangi segera berangkat
Si bapak menyerahkan ransel kami.
“Don’t talk to any body, just find station master . God bless you.”
“God bless you too, sir. Thank you Very Much”
Kami berjalan menuju deretan ruang di stasiun. Bersamaan dengan itu pula, kereta yang saya tumpangi dan kereta di platform lain pergi meninggalkan stasiun Panipath.
Kami berjalan santai seolah tidak terjadi apa apa. Just relax meski rasa khawatir menyelubungi. Stasiun nampak sepi dengan temaram lampu. Hanya ada beberapa pasang mata nampak heran dan penasaran menatap kami yang berwajah asing.
Stasiun dengan dua jalur terlihat begitu usang dan kotor. Terdapat jembatan yang digunakan penumpang menuju jalur lainnya. Lampu lampu terlihat redup. Tak banyak aktifitas penumpang. Terlihat beberapa penjual gorengan dan teh saja. Jadul, sepi dan gelap. Seperti stasiun di negeri antah berantah.
Hembusan angin dingin menerpa. Dinginya badan tak lantas mendinginkan gemuruh hati yang ingin teriak. Saya justru berkeringat. Saya tenangkan diri, berjalan santai sambil menatap deretan ruang stasiun di seberang. Beberapa pasang mata menatap kami dalam dalam. Saya abaikan, mata saya terus awas mencari ruangan bertuliskan station master.
Ketika menemukan ruangan tersebut, tingkat kekhawatiran sedikit menurun. Ruangan begitu jadul dengan pintu yang menua. Saya ketuk pintu beberapa kali tapi tak ada yang menjawab.
Saya buka pintunya, celingukan memandang ke arah dalam. Tapi tak ada siapapun didalam. Dan tiba tiba seseorang berucap dari belakang
“can I help you?”
“Yeah, I need to talk with station master”.
“I am station master”
Kepala stasiun bertubuh tambun, berkulit gelap dengan kumis tebal, matanya tajam, sesaat sebenarnya saya takut melihat wajah si bapak yang sedikit garang.
Tekanan darah menurun kembali ketika si bapak mempersilahkan saya masuk kedalam. Ruangan kecil dipenuhi deretan kursi, lemari kecil dan meja menua dengan tumpukan buku usang diatasnya. Dua buah telpon zaman 80 an dengan dua sembulan bulat di kedua ujung gagangnya berada disebelah mejanya.
Didalam terdapat sebuah meja panjang dengan gambaran sebuah jalur kereta. Dilengkapi dengan kelap kelip lampu kecil sebesar resistor berwana merah, kuning, hijau. Berkedip kedip, mati, nyala kembali. Najin sibuk memandangai pergantian lampu. Saya meminta dia untuk tidak menyentuh apapun dimeja, cukup memandangi saja.
Saya duduk berhadapan dengan station master. Saya jelaskan apa yang telah terjadi kepada beliau hingga kami terdampar di stasiun ini.
Terdampar berbuah status di Instagram |
Saya menjelaskan bahwa kami akan kembali ke Delhi melalui stasiun ini. apakah sebentar lagi ada kereta yang menuju delhi? dan sialnya kereta yang datang barusan bersamaan dengan kedatangan kami adalah kereta terakhir menuju Delhi malam itu. Kereta selanjutnya datang pukul 2 pagi. Nasib oh nasib!
Berarti kami masih harus menunggu 3 jam lagi. Gelisah menghantui karena kereta India terkenal lelet dan sering telat. Saya menjelaskan situasi yang ada kepada Shah jahan dan melalui telepon dia berbincang sejenak dengan si bapak station master
Saya bertanya kepadanya apakah masih ada seat dalam kereta menuju Delhi? Beliau jawab ada, di kelas sleeper. Tak masalah di kelas apa, yang penting balik ke Delhi lagi. Si bapak dengan baiknya memanggil anak buahnya. Memintanya untuk membelikan tiket ke Delhi buat kami bertiga. Alhamdullilah.
Kami diminta untuk tetap tinggal dalam ruangan, Najin menikmati lampu berkedip kedip di meja pengatur lalu lintas jalannya kereta. Beberapa saat terdengar dering telepon, si bapak kemudian mencatat dalam bukunya. Dering telpon berbunyi lagi, dan dia mencatat kembali kedalam buku. Dan Najin sungguh menikmati situasi dalam ruangan, karena baginya mirip sebuah permainan track kereta api.
Setelah mendapatan tiket kereta, kami berbincang sejenak. Saya sungguh berterima kasih. Dan si bapak meminta kami beristirahat di VIP room. Sungguh, tak menyangka, di stasiun yang kecil ini terdapat VIP room yang letaknya tak jauh dari ruangan station master. Dia meminta kami untuk tidak kemana mana apalagi sampai keluar dari area stasiun.
Saya letakkan ransel ke dalam ruangan, tak begitu lebar ruangan VIP ini. Dengan deretan kursi yang biasa saya jumpai di stasiun kereta di Indonesia. Dipojokan terdapat tempat sampah dan kamar mandi dengan aroma yang sungguh … emboh.
Saya intip suasana luar stasiun dari balik jendela ruangan. Sepi. Beberapa tukang becak duduk santai diatas becaknya. Wanita, pria, tua, muda dan anak gelandangan tertidur lelap didepan stasiun.
Tidur beralaskan kain saja. Menutup wajah dan badan mereka dengan selimut tipis dan kumal. Tak dapat saya bayangkan betapa dingin diluaran sana. Akhir musim dingin, hawa masih terasa sangat dingin dalam ruangan apalagi diluaran.
Ah, bukankah di India ini adalah pemandangan yang begitu biasa? Mungkin karena saya tinggal terlalu lama di negeri ini. Pernah melewati puluhan stasiun di India. Mulai dari Selatan hingga Utara. Hal hal yang sangat sangat menyedihkan kadang tak lagi menyentuh hati. Ntah karena begitu terbiasa atau hati ini mulai mati dengan suguhan yang sama setiap hari. Sama seperti orang India pada umumnya yang terbiasa dengan jerit kehidupan seperti itu.
Begitu banyak cerita kehidupan di stasiun. Mungkin, dari stasiun di India saja sebuah buku tebal bisa tercipta.
Saya meminta Najin untuk tidur tapi dia menolak. Dia ingin kesana kemari. Saya mengiyaan asal tak jauh dari pandangan mata.
Stasiun nampak lebih sepi lagi dari yang saya lihat tadi. Penjual gorengan sudah menutup lapaknya. Hanya satu penjual chai (teh) yang tersisa.
Duduk termenung di stasiun, mata saya menatap awas kearah Najin yang jalan mondar mandir melihat stasiun. Saya tersenyum dalam hati. Menelaah dan mengambil hikmah apa yang barusan kami lewati.
Ketenangan menyapa. Duduk di bangku panjang dengan angan mulai malayang. Membayangkan Amir Khan datang dengan senyuman khasnya. Memainkan gitar dan bernyanyi lagu Raja ko rani se pyar ho gaya. Dan tentu saja, angan itu tak mungkin terjadi karena malam itu, mungkin si abang Amir Khan lagi sibuk mencari harga gitar Akustik untuk dijadikan kado buat anak lelakinya yang tak kalah ganteng darinya, Azad Rao Khan.
Saya sudahi lamunan ini untuk menjaga kewarasan otak. Waktu menunjukkan pukul 01.00, masih satu jam lagi. Najin mulai lelah. Saya memintanya masuk kedalam ruangan karena hawa dingin mulai ganas menusuki badan. Ngantuk tapi tak bisa tidur. Dalam ruangan, saya berbincang dengan mbak Andri tentang banyak hal.
Mendekati pukul 02.00 saya menyiapkan ransel dan tas. Berharap kereta kami datang tepat waktu. Tiba tiba dua orang lelaki berkulit gelap dengan lampu senter ditangannya datang mendekati kami.
Kemudian seseorang yang berpakaian lebih rapi datang mendekati. Beliau adalah station master pengganti. Bapak kepala statiun sebelumnya sudah pulang. Dan sebelum pulang, dia memberi pesan kepada station master pengganti untuk mengantar kami hingga ke gerbong kereta.
Kereta menuju Delhi sebentar lagi datang. Saya mengucapkan banyak terima kasih dan titip salam kepada bapak kepala stasiun sebelumnya. Dua lelaki dengan senter ditangan dengan sigap membawakan ransel kami. Kemudian kami mengikuti mereka menuju platform di seberang.
Jembatan menuju platform yang gelap mereka terangi dengan senter. Memastikan langkah, agar kami tidak jatuh dari tangga hingga sampai di tepian platform.
Dari kejauhan sorot sinar terang berjalan mendekati. Diikuti dengan suara siulan panjang. Kereta berhenti dihadapan kami. Kedua bapak memasuki gerbong. Membangunkan pemuda pemuda dalam kereta yang terlelap dalam tidur agar memberi tempat buat kami. Dia juga memberi pesan kepada pemuda yang ada di gerbong untuk tidak menggangu kami. Dan para pemuda yang mendominasi gerbong menatap kami dengan wajah mereka yang kusut dan rambut acak acak an.
Kedua bapak memastikan kami mendapatkan tempat duduk dan meminta mereka untuk pindah. Ah, leganya. Alhamdullilah, di negeri yang keras dan kacau ini masih banyak malaikat tak bersayap yang selalu sigap membantu.
Perjalanan lancar hingga akhirnya kami bertemu dengan Shah jahan yang menunggu di Nizamuddin Railway station dengan mimik muka kekhawatiran.
Keesokan harinya, di jam yang sama kami menaiki kereta yang sama menuju Jammu, Kashmir. Ternyata dewa kegelapan tak jua menjauh pergi. Karena kesialan masih menyelubungi kisah perjalanan kami selanjutnya.