Perjalanan Mempertemukanku Dengan Dalai Lama
November 16, 2016
Perjalanan
selalu menyuguhkan kisahnya tersendiri, mulai kejadian yang terkadang membuat
naik pitam hingga sebuah pertemuan unik yang menghadirkan kebahagiaan, begitu
pula perjalananku kali ini ke Dharamsala, bertemu dengan biksu baik hati yang
‘membawaku’ bertemu dengan Dalai Lama.
Senja
mulai merekah ketika sampai di
Dharamsala. Tepat hari ke 5 perjalanan Jelajah
Himalaya India Utara. Saya Bersama teman teman berencana mengunjungi
Dharamsala sehari semalam.
Dharamsala adalah sebuah kota kecil yang berada di kaki pegunungan Himalaya, Propinsi Himachal Pradesh,
India. Kota perbukitan yang menyuguhkan gugusan pegunungan Himalaya dengan
puncuk puncuk saljunya. Dharamsala bagaikan magnet surga dunia yang menawarkan
kedamaian bagi para pencari tujuan hidup.
Dharamsala
dahulu dikenal dengan nama Bhagsu dibawah kepemimpinan dinasti Katoch. Dinasti
yang dipercaya sebagai keluarga kerajaan tertua di dunia. Pada tanggal 29 April
1959 Dalai Lama ke 14, Tenzin Gyatsoyang bersama pengikutnya melakukan
perjalanan panjang dari Tibet menuju India untuk mengungsi karena terjadi
konflik politik dengan negara China.
Disini
Dalai Lama hidup dalam pengasingan dan mendirikan CTA (Central Tibetan Administration). Sejak saat itu Bhagsu dikenal
seluruh dunia sebagai Dharamsala. Dalam bahasa Sansekerta Dharamsala
berarti rumah atau tempat beristirahat
bagi para peziarah keagamaan. Ditahun berikutnya para pengikut Dalai Lama
berbondong bondong datang ke Dharamsala. Menjadikan Dharamsala dijuluki Little Lhasa.
Bertemu Dengan Biksu Baik Hati
Bertemu Dengan Biksu Baik Hati
Pagi
itu, setelah tersesat di Patankot
semalam, sampai di terminal Dharamsala kami langsung menuju ke kawasan Mcleodganj. Orang menyebutnya sebagai
Dharamsala bagian atas. Disini tempat Dalai
Lama tinggal. Kuil dan stupa bersanding mesra dengan deretan hotel dan toko.
Sesampainya
di hotel, kamar yang sudah kami
booking melalui internet ternyata masih ditempati oleh tamu. Kami mengerti,
karena kami memang datang terlalu pagi. Tak ingin menyia nyiakan waktu, kami
menitipkan ransel di lobby hotel dan memutuskan berjalan jalan menyusuri
kawasan Mcleodganj. Saya berjalan bersama Lamda dan Jerome, teman seperjalanan
ketika bertemu di Kashmir. Sedangkan Rani, Fery dan bang Wilson memilih
beristirahat sebentar di hotel.
Jalan
disekitar Mcleodganj nampak mulai menggeliat. Beberapa biksu berpakaian merah
maroon berjalan kesana kemari dengan membawa tasbih di tangannya. Warga negara
asing, wanita Tibet mengenakan baju khasnya nampak berseliweran. Baju panjang
dengan penutup (mirip celemek) bermotif garis didepannya.
Dilangit
langit menjulur bendera Doa dengan aksara Tibet. Meski nuansa Tibet kental
terasa, aroma India tak hilang begitu saja, lenggokan sapi berjalan dengan santai di jalanan.
Toko
toko disekitar mulai buka. Beberapa membersihkan lapaknya. Dan yang lainnya
sibuk meletakkan dagangannya diatas lapak. Kami memasuki salah satu toko buku
untuk mencari Peta Dharamsala. Barusan saja mau membuka pintu tetiba seorang
biksu menyapa kami.
“Good morning” sapanya dengan ramah dan senyum
mengembang. Seorang biksu degan usia sekitar 60 tahun. Menggunakan pakaian
merah Maroon dan mengenakan kacamata. Dari raut wajahnya nampak bahwa beliau
barusan berjalan tergesa gesa. “Morning”
jawab saya dengan senyuman. “Are you come
from Indonesia?” dengan berjabat
tangan dengannya, saya menjawab “Yes, I
am from Indonesia”. Rasanya bahagia banget. Karena selama tinggal dan jalan
jalan di India, semua orang selalu mengira saya dari Malaysia.
“How do you know I am from Indonesia. Well,
because everybody tought that I am from Malaysia”.
Tanya saya dengan senyum dan keingintahuan “Well,
I know it from scarf you wearing and your charm face”. Muka saya langsung
bersemu pink.
Ternyata,
beliau memang ingin berbincang dengan saya yang berasal dari Indonesia. Dia
bahagia ketemua dengan orang indonesia. Kebahagiian beliau tanpa alasan, bahwa
sepatu yang beliau pakai saat ini adalah pemberian dari seorang pemuda dari
Indonesia. Dan jarang sekali orang Indonesia dating ke Dharamsala. Kemudian
kami berbincang bincang dan beliau bercerita banyak hal tentang Dharamsala.
Ditengah
perbincangan, beliau bertanya “All of you
did registration already?” saya dan teman teman saling pandang. “registration? What registration?”. “oh, all of you doesn’t know it?”. Kami
semakin heran. “Ah OK, tomorrow there is
a meeting with Our Dalai Lama with Public and today is last day for
registration to meet with Him” . “Really ?” mendengar hal tersebut kamu
langsung loncat kegirangan. Beneran nggak menyangka, rasanya pingin jingkrak
jingkrak rock end roll.
“Do you have picture?”
tanya beliau kepada kami. Saya sendiri selalu memiliki pas foto di dompet
ketika traveling. Lamda juga menyimpan foto diri. Sedangkan Jerome tidak punya pas foto. Dengan baik hati, sang Biksu mengantar kami ke tempat tukang foto.
Kami
berbincang banyak, kebanyakan tentang kehidupan Biksu dan penduduk Tibet yang
tinggal di Dhramsala. Ditengah perbincangan, saya dan Jeroma saling pandang.
Kegelisahan yang sama menyelimuti pemikiran. “Kami harus bayar berapa untuk pertemuan
ini?” .
Jujur
saja, sebagai seorang backpacker kami hanya membawa uang yang cukup untuk perjalanan
saja. Bahkan demi menghemat uang, kami rela menggunakan Bus Himachal yang sungguh mengenaskan untuk jelajah Himalaya. Apalagi
dari banyak buku perjalanan tentang Tibet yang kami baca, banyak Biksu yang
meminta uang untuk befoto. Akhirnya dengan ragu dan lirih saya jujur bertanya
pada beliau
“How much we have to pay for
registration ?”
“Ahhh, No money, No business here”
Jawab beliau sambil senyum mengembang.
Duh,
Gusti maafkan dakuw bertanya seperti. Sesaat rasanya pingin naruk muka di
comberan. Malunya minta ampun. Pelajaran berharga di hari itu, kelak suatu saat
ketika saya menjejakkan kaki di Tibet,
takkan menanyakan hal yang sama.
Beliau
bahkan rela menunggu hingga Jerome befoto dan tercetak bagus. Senyuman dan
cerita menarik terus bergulir. Beliau kemudian mengantarkan kami hingga ke
tempat registrasi. Kamu berucap terima kasih dan selamat tinggal. Setelah
beliau pergi, kami berdua saling tanya “Who
is his name?“ ladalah, ternyata kami berdua lupa menanyakan nama
beliau. Sungguh terlalu. Dalam hati saya
berharap, semoga saya dipertemukan kembali dengan beliau.
Di
kantor registrasi berjubel warga negara asing. Mereka mengantri untuk mengisi
form registrasi. Setelah mengisi form, kami masuk ke sebuah ruangan untuk
menyerahkan form registrasi, foto dan passport. Mereka kemudian mengecek
passport kami dan memasukkan identitas kedalam komputer.
Tak
lama kemudian petugas kantor menyerahkan form kembali kepada kami. Tertempe
foto, stamp dan menuliskan jam pertemuan. Meminta kami untuk datang tepat waktu
yakni Pukul 7.30 pagi.
Tertulis
tangan dalam form saya nomer 4920. “What
number is this”? tanya saya kepada petugas registrasi sambil menunjuk ke
nomer tersebut. Beliau tersenyum dan menjelaskan bahwa itu adalah nomer urut
registrasi untuk bertemu Dalai lama. Mengetahui begitu banyak pengunjung, saya
dan teman teman saling memandang dan tersenyum. Membayangkan betapa banyak
pengagum Dalai lama dan ramainya Monastry besok pagi.
Jerome, Biksu baik hati, Lamda dan Rani |
Form Registrasi |
Mengantri bersama ribuan traveller
Keesokan
harinya, pukul 7 pagi kami sudah bersiap meninggalkan hotel. Mengganjal perut
dengan minum segelas chai hangat dan
sepiring momo, dumpling ala masyarakat Tibet. Jalanan masih nampak sepi. Sengaja
kami datang 30 menit lebih awal agar tidak mengantri terlalu lama.
Meski
datang lebih awal, perkiraan kami meleset. Berjarak 400 meter menuju Dalai Lama temple Complex yakni tempat
tinggal Dalai lama, juga monastry dan asrama, barisan antrian sudah mengular
panjang. Ada yang berkulit putih, kuning, coklat sawo, hitam, anak anak hingga
orang dewasa. Seolah semua penduduk dunia dari berbagai benua tumplek
blek membanjiri tempat ini.
Kebanyakan
para pemuda berusia sekitar 20 tahunan. Lebih banyak turis berkulit putih. Antrian
berjalan lambat. Kami habiskan waktu saling berbincang. Semakin lama antrian
semakin panjang, menengok kebelakang yang terlihat hanyalah antrian mengular
tanpa ujung.
Melintas
beberapa biksu dan biksuni. Dan juga beberapa warga setempat yang kebanyakan
membawa tasbih ditangannya untuk beribadah pagi menuju Monastry. Tak disangka,
melintas biksu baik hati yang kami temui kemarin. Kami berbincang sejenak dan
berfoto.
Selang
1,5 jam berdiri mengantri, kami sudah sampai di pintu gerbang Dalai Lama Temple Complex. Berderet
beberapa asrama para biksu dan juga museum Tibet. Pengamanan sangat ketat
sekali. Pengunjung laki laki dan wanita dipisahkan untuk pengecekan. Kami tidak
diizinkan membawa ponsel dan kamera. Petugas mengecek setiap lekuk tubuh kami.
Memastikan semua aman dan tidak membawa perlatan elektronik lainnya. Bahkan,
petugas meminta kami untuk meminum air putih yang kami bawa.
Kemudian
kami masuk dan berkumpul disebuah aula besar. Aula ini berada diantara
pelataran Monastry dan tempat tinggal Dalai lama yang saling berhadapan. Aula
terbuka ini lumayan besar dengan beratapkan sebuah kanopi. Suara gemuruh
terdengar nyata disini. Ribuan orang dari seluruh dunia saling berbincang.
Berderet
beberapa kursi, satu meja dan sebuah mix
terpajang di pelataran Monastry menghadapy ke aula dimana kami berdiri. Nampak
begitu sederhana. Di Aula berukuran besar ini kami masih harus menunggu hingga
semua pengunjung memasuki aula. Para pengunjung saling berkenalan dan betegur
sapa. Membaur dalam kedamaian dan keharmonisan. Meski lama menanti, lelah tak
terasa. Tak hanya karena berbincang dengan suka cita, juga perasaan bahagia
karena memiliki kesempatan langka untuk bisa bertatap muka dengan Dalai Lama.
Tetiba,
seorang moderator menuju ke depan mix
yang berada di depan monastry, memberitahu dalam bahasa Inggris. Kami yang
berasal dari benua Amerika diminta untuk pindah ke sayap kanan. Warga negara
dari benua Eropa diminta untuk berpindah di sayap kiri. Warga negara India
diminta untuk berada di tengah Aula. Sedangkan Kami yang berasal dari Asia, diminta
berdiri didepan tempat tinggal Dalai lama.
Pertukaran
ini begitu santai dan tertib. Moderator juga menjelaskan bahwa pengelompokan
ini dimaksudkan untuk keperluan sesi foto bersama Dalai Lama. Dan kami bisa
mengunduh foto foto tersebut di web www.Dalailama.com. Suara sorak dan bahagia terdengar
begitu gemuruh dalam aula ini. Jujur saya, ketika kami tidak diperbolehkan
membawa kamera dan handphone pikiran saya sempat gundah, bagaimana saya bisa
mengabadikan momen yang begitu berharga ini.
Sampai
di kelompok benua Asia. Kami pun masih dibagi dalam dua kelompok lagi. Warga
negara Jepang dan Korea dipisahkan. Kemudian warga negara Non Korea dan Jepang
berkumpul bersama.
Disini
saya berkumpul dan berkenalan dengan beberapa traveller dari Singapura, Malaysia, Taiwan, Thailand, Myanmar dan
dua biksu Dari Mongolia. Kami saling bercerita tentang pengalaman kami selama
perjalanan di India hingga ketidaksengajaan kami bisa berkumpul hari ini untuk
bertemu dan berbincang dengan Dalai Lama.
Dua
Biksu dari mongolia bercerita. Betapa bahagia mereka hari ini bisa bertemu
Dalai lama. Setelah perjalanan jauh yang melelahkan dari negeri Mongolia. Dan
menunggu bertahun tahun lamanya akhirnya bisa bertemu. Mereka mengatakan bahwa
Dalai lama adalah Biksu suci yang menjadi tauladan bagi mereka. Dapat bertemu dengan beliau adalah sebuah
keajaiban.
Bersalaman dan Berbincang dengan Dalai
Lama
Tak
lama kemudian, suasana begitu hening. Beberapa penjaga tersebar kemana kemana. Sang
Biksu Suci Dalai Lama berjalan santai
keluar dari tempat tinggalnya dengan senyum bahagia. Diiringi beberapa biksu dan
panjaga keamanan dibelakangnya. Salah satu Biksu membawa dupa dalam sebuah
wadah dari kuningan yang mengantung di tanganya. Dupa digerak gerakkan disepanjang langkah di
depan Dalai Lama. Suara Sorak tepuk tangan dari kami semua, diselingi teriakan
“We Love You Dalai Lama”. Disitu rasanya
pingin nangis terharu.
Betapa
beruntungnya kami, Sang Dalai Lama mendatangi group kami terlebih dahulu. Dan
momen itu tiba, pertama kali beliau menyodorkan tangannya didepan saya, sambil
bersalaman dan tersenyum lebar beliau berucap “Are you come from Indonesia ?” Seakan masih tidak percaya bahwa
saya bisa bertemu dan berjabat tangan dengan Beliau. Antara bengong, kikuk, haru,
pingin nangis dan bahagia yang membuncah saya berucap “Yes, I am from Indonesia”. Mengembangkan senyumnya beliau kemudian berucap
“Ah, beautiful country”.
Hanya
beberapa yang diajak berjabat tangan dan berlanjut sesi pengambilan foto. Setelah
sesi pemotretan, pengunjung berusaha untuk bisa mencium dan menjabat tangan
beliau. Seorang Gadis disebelah saya hingga menangis terseduh dan membawa
sebuah hadiah khusus berupa selendang untuk beliau.
Meninggalkan
kami, Dalai Lama menuju group dari Jepang dan Korea yang berada dihadapan kami.
Hingga hari ini saya tidak bisa melupakan tangan beliau yang begitu halus dan
kenyal. Saya terkejut, tangan saya “dikeroyok” oleh traveller lain. Mereka
bilang, saya beruntung dan ada berkah ditangan saya. Dengan memegang tangan
saya, mereka berharap mendapatkan berkah yang sama. Huaaaa happy tak terkira.
Kami
menunggu sejenak hingga Dalai Lama menyapa seluruh pengunjung. Terkadang sorak
tawa terdengar begitu membahana. Teriakan “We
Love You Dalai lama” terkadang terdengar diantara kerumunan. Selanjutnya, teriakan
“We Love You Dalai Lama” selalu
mengiringi hingga acara pertemuan dengan Dalai lama selesai.
Selesai
menyapa pengunjung, seluruh pengunjung dipersilahkan bercampur kembali di Aula.
Tak ada lagi Amerika, Eropa , India dan Asia, semua membaur. Kemudian Sang Dalai
Lama melakukan ritual Ibadah dalam Monastry. Dan tak lama kemudian beliau
muncul kembali dan duduk dikursi yang sudah disediakan didepan pelataran
Monastry. Beliau duduk menghadap ke arah seluruh pengunjung yang duduk bersila
di aula.
Disebelah
beliau beberapa biksu dan Bodyguard.
Berjajar polisi berseragam dan juga pakaian biasa menggunakan senjata laras
panjang. Meski penjagaan yang begitu ketat tapi kami tak merasakan ketegangan
sama sekali.
Mendengarkan
dakwah dan kata kata mutiara beliau mengalir begitu santai. Penuh makna membawa
kedamaian dalam hati. Beliau bercerita tentang hakekat hidup, kedamaian,
kebahagiaan dan saling menghormati budaya serta agama. Sesaat kami semua hanya
terdiam, seolah terhipnotis dan hanyut dalam pandangan memaknai hidup. Sesekali
beliau mengeluarkan kata bernada Guyonan
membuat kami tertawa riang.
Acara
dilanjutkan tentang sesi tanya jawab dengan beliau. Pertanyaan mulai politik,
kebiasaan beliau, perdamaian dunia hingga curahatan hati kepedihan hidup dari
pengunjung. Beberapa dari mereka menitikkan air mata, menceritakan segala duka
yang terjadi dalam kehidupan mereka. Dan membawa isak tangis diantara kami
semua. Kebanyakan dari mereka meminta Dalai lama untuk mendoakan.
Beliau
memberikan pandangan hidup, untuk menjalani hidup ini dengan penuh keikhlasan agar kedamaian terasa. Terus
berjuang meski kedukaan menerjang dengan mengendalikan pikiran kita. Kata kata
Mutiara beliau sungguh terpatri kuat dalam diri saya pribadi. Mungkin juga
pengunjung lainnya.
Dan
diakhir perbincangan dan segala gejolak yang terjadi beliau berkata “We Don’t hate Chinese. We love them, they
all our brother and sister. Let’s make this world peace in Harmoni”. Suara
sorak dan tepuk tangan menyambut ucapan beliau. Tentu saja dengan teriakan “We Love you Dalai Lama”.
11 $type={blogger}
Wah, beruntung ya mbak. Bisa ketemu Dalai lama. Btw, mbak itu ada photo bule pake baju Oren kayak biksu gitu, apa biksu bule gitu ya? #penasaransamapenampakkan
ReplyDeleteIya, Beruntung banget, rezeki emak baik hati dan tidak sombong *dikeplakipas . Iya, disana banyak biksu budha dan hindu bule.
DeleteHuuuuuuuuuu ngiri to the max deh pokoke... Moga2 aku bisa ke sana. Inshaa Allah..
ReplyDeleteAyoooo Amiin, ayo mak kesini, seneng dan damai
DeleteYang mau ketemu sampai antri panjang gitu yaaa, masih banyak orang baik kalo kita nya juga baik, banyak yang menolong yaaaa
ReplyDeletehe eh, ribuan kakak. Iya, klo kita travelling dimana mana banyak orang baik
Deletekemaren barusan nonton film ttg Dalai Lama nih, judulnya Seven Years in Tibet. padahal itu film dah lama tapi baru sempat nonton kemaren
ReplyDeleteIya, film nya cak bradd pitt.
DeleteThis comment has been removed by a blog administrator.
ReplyDeletesemenjak ceritamu siang itu mbak, aku langsung penasaran dan baca di Blogmu ini hahah.
ReplyDeleteBetapa merindingnya ya ketemu Dalai Lama
Aku jadi pengen ke nepal tapi lewat India wkwkw bareng kamu mbak huhu semoga kesampaian
-Lidia
hahaha.
DeleteAyoooo kapan? tapi kamu yang sedain tiket ya, heheheh *dikeplak
Semoga bisa ketemua dalai lama juga