Terpaku Arsitektur Lawang Sewu
October 12, 2015
Ikon
gedung berhantu ini tak lagi menyeramkan justru mengundang detak kagum dengan design
arsitekturnya.
Para
pecinta dunia lain pasti sudah tahu sederet cerita menyeramkan tentang gedung
tua yang berada di Kota Semarang ini. Cerita tentang penyiksaan para tawanan
yang bikin bulu kuduk berdiri hingga sejumlah penampakan yang bikin peserta uji
nyali melambaikan tangan didepan kamera. Seiring berjalannya waktu, deretan
jendela penghias dindingnya menjadi daya tarik yang telah melahap aura mistik
yang pernah ada.
Kami
(saya dan tarie) datang ke lawang Sewu ketika sang raja siang berada tepat di
ubun ubun, panasnya sangat cetar. Sebelumnya kami sempatkan berkunjung ke
Klenteng tua dan terbesar di Semarang, Klenteng Tay Kak Sie. Begitu panasnya kota Semarang, dalam jarak dekat terlihat gemulai air menari menari diatas jalanan,
efek fatamorgana. Memaksa sang mata terlindungi
oleh kacamata hitam.
Wong Jowo pasti ngertilah, yo nek lawang Sewu itu artinya Seribu pintu. Tapi Penamaan Lawang Sewu hanyalah visualisasi dari penampakan dari design yang ada. Apa benar “pintu” nya berjumlah Seribu? Ternyata tidak. Demikian pula dengan design jendela yang tinggi dan lebar justru dianggap sebagai Pintu.
Wong Jowo pasti ngertilah, yo nek lawang Sewu itu artinya Seribu pintu. Tapi Penamaan Lawang Sewu hanyalah visualisasi dari penampakan dari design yang ada. Apa benar “pintu” nya berjumlah Seribu? Ternyata tidak. Demikian pula dengan design jendela yang tinggi dan lebar justru dianggap sebagai Pintu.
Sampai
di depan Lawang Sewu berjajar para penjual makanan dan minuman. Bangunan tua berlantai dua yang dibangun oleh
kompeni Belanda pada tahun 1904 ini nampak megah dan terawat. Dua buah menara
berada di sisi depan bangunan. Dilengkapi dengan jendela balkoni dan dimahkotai
kubah berwarna merah bata.
Sebuah
pos kecil bediri disebelah kanan. Disebelah kiri bangunan utama Lawang Sewu
yang menggiring mata menatap lengkung lengkung jendela berwarna putih. Lengkung
jendela ini memiliki kombinasi warna yang cantik yang menghadirkan nuansa
sederhana tapi elegen. Bagian bawah dilapisi dengan tegel keramik warna kuning
dengan kombinasi palet warna abu abu.
Pintu
masuk komplek Lawang Sewu berada di
Bagian Belakang. Pengecekan tiket berada tepat di bawah “jembatan” yang menghubungkan
gedung utama dan toilet. Meski tergolong tua, toilet lawang sewu berfungsi
dengan baik dengan gaya Eropa. Sejenak saya meninggalkan “jejak” disini.
Komplek
lawang sewu terdiri atas lima bangunan. Ditengahnya sebuah pelataran luas
dengan pohon Mangga besar ditengahnya. Bangunan utama gedung A berbentuk L yang
nampak dari depan. Berhadapan dengan gedung B berlantai dua yang bersebelahan
dengan kereta mini. Gedung C, berupa bangunan kecil lebih mirip dengan sebuah
rumah. Gedung D berada di belakang Gedung C. sedangkan Gedung E berdampingan
dengan gedung A dan B.
Kami
memasuki gedung C terlebih dahulu yang nampak seperti sebuah rumah kecil.
Didalamnya menyimpan berbagai koleksi foto dan denah komplek lawang Sewu. Dari
foto foto yang menghiasi dinding, kita bisa melihat bawah gedung lawang sewu mengalami tahap konservasi dan
revitalisasi yang dilakukan oleh Unit Pelestarian benda dan bangunan bersejarah
PT Kereta Api Persero.
NIS (Nederlands-Indische Spoorweg
Maatschappi) sebutan bagi pemerintahan Hindia Belanda mempercayakan rancangan gedung
kantor pusat NIS di Semarang kepada Prof. Jacob F. Klinkhamer (TH Delft) dan
B.J. Quendag. Arsitek yang berdomisili di Amsterdam. Seluruh proses perancangan
dilakukan di Belanda. Baru kemudian gambar-gambar dibawa ke Kota Semarang.
Melihat dari cetak biru Lawang Sewu
tertulis bahwa site plan dan denah bangunan ini telah digambar
di Amsterdam pada tahun 1903. Begitu pula kelengkapan gambar kerjanya dibuat
dan ditandatangani di Amsterdam tahun 1903. setelah kemerdekaan gedung Lawang
Sewu dipakai sebagai kantor Djawatan Kereta Api Repoeblik Indonesia (DKARI)
atau sekarang PT. Kereta Api Indonesia.
Berkeliling menatap garis garis
design arsitektur, sejenak mata Saya tertumbuk dengan aneka bahan yang
dimasukkan dalam gelas dalam sebuah box
kaca. Heran, kenapa ada bumbu masak disini? Hehehe. Ada cengkeh, spirtus,
gasoline, ethil, dan masih banyak bahan bahan lainnya hingga pelepah pisang. Ternyata
bahan bahan disini adalah formula khusus yang digunakan untuk membangun gedung
lawang sewu agar kuat dan tetep awet. Jenius amat!
Kami kemudian bejalan menuju gedung
utama yang kini digunakan sebagai museum kereta Api sekaligus tempat narsis. Jajaran
Jendela seukuran pintu berwarna hitam nampak berjajar cantik di bagian depan.
Didalamnya terdapat beberapa foto foto masa lampau, miniatur kereta hingga
video tempoe Doloe.
Kami naik ke lantai dua. Disana
terdapat jendela kaca dengan gambar warna warni. Jendela yang melambang
kebesaran kerajaan Belanda. Mozaik Jendela seperti ini mengingatkan saya akan jendelan
Gereja tua di Kota Shimla, India. Hanya
saja gambarnya menggambarkan kebaikan yang diajarkan agama Kristen.
Kami beranjak ke bagian lainnya di
gedung A. Bagian dasar bangunan ini terdapat lorong bawah tanah. Ruang yang
menyimpan sejuta kisah pedih penyiksaan tawanan. Ruangan yang digenangi air
saat ini tertutup untuk umum. Ruangan tempat berpesta para penunggu dunia lain.
Hehehe. Cobalah untuk mendekat kepintunya yang tertutup, hembusan aura mistik
yang bikin bulu kuduk berdiri.
Jika dibawahnya dipeuhi aura mistik,
diatasnya malah jadi aura kasih, maksudnya aura forografi. Mulai anak anak sekolah,
anak gaul sampai emak emak sosialita, antri foto di deretan jendela lawang sewu
yang memang instragramable ini. Dalam
ruangannya nampak seperti sebuh lorong ruangan dengan bingkai sekat sekat
pintu.
Kami melepir ke sisi lain yang
berdekatan dengan lahan kosong. Lahan ini nampak tak terawat, ilalang meninggi
ditemani rimbun pohon gori. Buahnya digunakan sebagai bahan untuk membuat lentog, gori ini nangka muda.
Kami kemudian menuju keujung gedung.
Sepi, tak banyak yang menjejakkan kaki disini. Ada lantai dengan kemiringan
tajam menuju lantai 3. Saya naik keatas, sebuah lantai yang beratapkan genting
secara langsung. Dibingkai dengan jendela jendela kecil. Maksud hati menuju
ujung ruangan, tetiba bulu kuduk saya berdiri. Perasan mulai menjadi jadi, saya
bergegas meninggalkan ruangan ini.
Jika diperhatikan gedung lawang sewu
ini dipenuhi dengan jendela besar. Mulai lantai satu hingga lantai tiga. Hal
ini dimaksudkan untuk sirkulasi udara sekaligus membawa angin segar dalam
ruangan. Karena bagi bangsa Belanda iklim Indonesia terlalu panas. Bukan hanya
lawang Sewu, seluruh bangunan yang dibangun zaman Belanda dipenuhi dengan
jedela besar. Hal ini bisa kita lihat di kawasan kota lama Semarang.
Puas berkeliling dan nampang pose
kece di setiap sudutnya. Kami bersantai disalah satu taman berdampingan dengan miniatur
kereta api. Apakah dengan meningkatnya jumlah wisatawan yang datang dapat menggusur
penghuni “utama” lawang sewu? Entahlah. Coba tanya sendiri sama “mereka”. Dan…
malam hari kami kembali ke lawang Sewu. Mau tahu ceritanya? Tungguin ya….
11 $type={blogger}
Fotone apik-apik mbak... kereen!
ReplyDeleteFotone apik-apik mbak... kereen!
ReplyDeleteMatur Nuwun :)
DeleteAku baru tau ada bumbu2 yang dipakai sebagai bahan bangunan Lawang Sewu, di sebelah mana itu etalasenya Mbak?
ReplyDeleteOhh yang cengkeh itu, Yang gedung pertama, gedung C, sebelah toilet itu.
DeleteDekatv phon mangga yang ditengah
kerennn bener gedungnya .... tapi belum kesampean saya datang kesini ... :(
ReplyDeletekalau di foto2 disini .. hasilnya endangg ya ... he he
Hehehe matur nuwun. Gedungnya memang endang dilihat, se endang penulis blog ini *plakkk :)))
DeleteFoto penulise yo apik kuwi... Werna klambine mentereng pisan... hehe ira
ReplyDeleteIyo mbak ben fotone ketok tambah 'kece' kudu gawe klambi mentereng sampe ketok teko bulan, hahaha
DeleteVery creative posst
ReplyDeleteGreat readiing your post
ReplyDelete