Klenteng dengan deretan altar para Dewa Dewi dan patung Budha ini dikenal sebagai Klenteng terbesar di kota Semarang
“Hai
ya xio pia iii yi ni poo ni hao truk tuk tuk … “ suara seorang lelaki terdengar
lantang dari corong speaker sesampainya kami di Klenteng Tay Kak Sie. Sesaat saya
terdiam, mencoba mencerna apa yang saya dengar. Pikir saya, mungkin ada semacam
kutbah atau ada pernikahan karena terlihat jajaran rangkaian bunga di depan Klenteng Tay Kak Sie.
Perlahan
kami melangkahkan kaki menuju klenteng. Patung sang penakluk Samudra Laksamana
Ceng Ho berdiri gagah menyambut siapa saja yang datang. Dikakinya sebuah tempat kotak merah seukuran warung penjual rokok
dengan sebuah “jendela” menghadap kearah klenteng.
Ternyata,
suara alunan cerita dalam bahasa Tionghoa menyeruak dari tempat ini. Sebuah
pertunjukan dengan boneka wayang Tiongkok sebagai lakonnya. Boneka boneka
dijalalankan diiringi alur cerita yang di ceritakan oleh satu orang saja. Hal yang
biasanya saya lihat dalam di film film Tiongkok.
Sejenak
menyaksikan pertunjukkan, saya gegas masuk kedalam klenteng. Tak hanya tidak
mengerti alur cerita dalam bahasa China, juga karena terik sang mentari yang
bikin kepala saya pening. Kota Semarang memang terkenal dengan panasnya yang humid. Kami datang kemari jam 9 pagi, tapi
rasanya kayak disengat mentari jam 1 siang.
sepasang Naga diatap Klenteng |
Seperti
Klenteng pada umumnya, Klenteng Tay Kak Sie didominasi warna
merah dengan jajaran lilin berukuran jumbo. Dipenuhi dengan ornamen dan simbol
simbol yang berhubungan dengan kepercayaan aliran Budha, Tao dan Konfusianisme.
Diatapnya sepasang naga saling berhadapan sedang memperebutkan matahari.
Dalam
mitologi Tionghoa, Naga merupakan lambang keadilan, kekuatan dan penjaga barang
barang suci. Naga atau Liong mempunyai kekuatan untuk mengubah bentuknya, hal
ini berarti naga memiliki kewaspadaan yang tinggi. Sepasang naga diatap klenteng
tersebut menjadi simbol penjaga klenteng dari pengaruh jahat.
Masuk kedalamnya, aroma Hio menyapa hidung. Asap tipis Hio
melambai lambai terbang menghilang bersama udara. Ditengah pintu terdapat
sebuah meja bertuliskan aksara China. Diatasnya sebuah wadah kuningan tempat
menyalakan Hio, buah buahan tersaji diatas piring, gulungan kertas dan berjajar
3 buah cangkir berukuran kecil.
Klenteng berbentuk persegi dengan atap terbuka ditengahnya.
Lurus dengan pintu terdapat sebuah altar. Klenteng
Tay Kak Sie merupakan salah satu Klenteng
tua di kota Semarang. Didirikan pada tahun 1771.
Dari literature yang saya baca. Pada tahun 1724 didirikan
sebuah sebuah rumah pemujaan yang kemudian diberi nama Kwan Im Ting. Lokasinya
terletak disamping sebuah kolam kecil, ditengah rerimbunan pohon asam dan
agak terpencil dari pemukiman
Pada tahun 1753 terjadi peristiwa
bentrokan antar kelompok penjudi yang sedang mabuk di halaman Kwan Im Ting.
Peristiwa ini menimbulkan reaksi yang sangat besar dari tokoh masyarakat waktu
itu. Dari peristiwa tersebut kemudian muncul pemikiran untuk memindahkan Kwan
Im Ting ketempat lain yang lebih luas dan aman. Berbagai pembicaraan terus
dilakukan, hingga akhirnya pada tahun 1771.
Atas petunjuk dari ahli fengshui,
dipimpin oleh Khouw Ping, beberapa saudagar tionghoa memilih sebuah areal tanah
luas ditepi Kali Semarang yang kala itu masih berupa kebun lombok. Itulah sebab
dibalik penamaan Gang Lombok di daerah ini.
Masyarakat Tionghoa bergotong royong
menyumbang berbagai keperluan pendirian tempat ibadah baru mereka, bukan saja
sumbangan uang, tapi juga berbagai bahan bangunan. Tukang batu, tukang kayu, ahli ukir dan banyak lagi
didatangkan dari berbagai tempat. Patung para dewa dan dewi didatangkan langsung dari
negeri China. Tahun 1772, setahun semenjak mulai
dibangun, klenteng itu telah berdiri dengan megah dan kokoh. Dan menjadi Klenteng terbesar di kota Semarang.
Tay Kak Sie sendiri
artinya Kuil Kesadaran. Saya melangkah
menuju altar yang berada di depan. Disana sudah ada beberapa wisatawan
mancanegara. Dan juga beberapa fotografer yang sibuk mencari angel yang pas
untuk dibidik. Jujur saja, saya jadi minder keblinger. Gimana tidak, saya
menggunakan kamera pocket tipis nan imut sementara mereka menggunakan kamera
gede dengan monyong lensa yang panjang.
Altar utama ini
diapit oleh dua altar kecil yang berada di kanan dan kirinya. Patung patung Dewa
berwajah oriental lengkap dengan pakaian khas Tionghoa. Diatasnya menggantung jajaran
lampion kecil kecil warna merah. Keseluruhan dekorasi di altar nampak
berharmoni dalam suatu tatanan yang meneduhkan hati.
Selain altar utama,
di sayap kanan dan kiri klenteng masih terdapat beberapa altar dari Dewa dan Dewi
berbeda. Beberapa jamah berdatangan, bahkan beberapa ada yang datang dari luar
kota. Mereka menyalakan 3 hio di genggaman. Memejamkan mata. Kemudian menunduk
beberapa kali di hadapan altar sang Dewa Dewi. Berharap kelancaran rezeki,
limpahan kesehatan dan menghirup sebuah kebahagiaan hidup.
Puas berkeliling, terakhir
saya mencicipi lunpia gang Lombok yang sudah melegenda itu. Dengan resep turun
temurun yang selalu menggugah selera. Letaknya berdampingan dengan Klenteng Tay Kak Sie. Tempatnya kecil dan
sangat sederhana, tapi yang beli antri. Karena memang nggak buka cabang. Banyak
yang beli untuk dibawa sebagai oleh oleh.
Lunpia berisi rebung
dan telur dijual dengan harga Rp. 12.000 saja. Saosnya kental sekali dengan
taburan cacahan bawang putih mentah. Ada dua pilihan, lunpia basah atau kering.
Kami pesan lunpia kering. Enak sekali dengan rasa bawang putih mendominasi. Pokoknya
rasanya Heucek ping ping ping.