Wanita Tak Kenal lelah
May 09, 2015
Wajahnya
yang menua dipenuhi buliran keringat. Tangannya yang renta memunguti pecahan
batu bata. Perlahan dan cekatan si Ibu memasukkan batu bata kedalam sebuah tampah
almunium. Setelah penuh, beliau berjongkok. Sekuat tenaga mengangkat keranjang
penuh dengan batu bata dan meletakkan diatas kepalanya. Seolah kepalanya telah
membatu menahan berat terlalu lama. Berjalan perlahan menuju area pembangunan dalam
balutan Baju tradisional India, Saree.
Cerita
anak manusia dalam lembar kehidupan yang mengajarkan pada kita arti bersyukur
ini saya bingkai ketika berkunjung ke Safdarjung’s Tomb. Bangunan terakhir
peninggalan Kaisar Mughal yang berada di Delhi, India. Apa yang saya saksikan
saat itu bukanlah pertama kali. Bahkan menjadi “pemandangan” yang biasa di pelupuk
mata.
Mendarat
di negeri seribu dewa ini 11 tahun yang lalu, jerit kehidupan ini saya saksikan
pertama kali di tepi jalan. Ditengah kemacetan jalan kota Delhi karena
perbaikan jalan raya. Saya melihat seorang anak lelaki berumur 3 tahun.
Telanjang bulat dan kusam. Ingusnya kehitaman menjalar di pipi. Rambutnya
coklat kemerahan karena terlalu lama tersengat terik sang mentari. Duduk
disebelahnya ibunya dalam balutan Saree merah. Mereka berdua duduk, tangannya
yang lemah menggenggam palu dan memecah batu alam yang keras.
Panas
Matahari memancarkan sengat hingga 35 derajat Celsius kala itu. Waktu itu saya dalam perjalanan menuju
Qutub Minar. Menara kemenangan yang berada di ujung Selatan kota Delhi. Saya
yang seyogyanya lebih nyaman berada didalam getaran autorikshaw (bajaj) merasa ketidaknyamanan dan kegerahan. Menggerutu
karena macet dan panas.
Melihat
ibu dan anak ditepi jalan menjadi tamparan kehidupan. Hati saya terasa
amburadul. Waktu seakan berputar. menggiring saya menyelami masa lalu. Betapa
banyak karunia dan anugrah yang Allah berikan tanpa diselingi rasa syukur.
Mengeluh tentang hal hal kecil dan menuntut terlalu banyak. Keinginan yang tak
pernah terpuaskan.
Di
India banyak sekali wanita bekerja menjadi kuli bangunan. Pekerjaan mereka memecah
batu dan membawa bahan bahan bangunan. Terkadang pasir, semen dan batu.
Terkadang di tepi jalan dibawah terik mentari. Dan juga pembangunan apartemen,
naik turun tangga. Balutan saree tak menghentikan segala gerak dan aktifitas
mereka.
Bahkan
ketika saya menulis postingan ini, ada pembangunan apartemen baru didepan
apartemen saya tinggal saat ini. Saya melihat seorang ibu berusia sekitar 50
tahun. Badannya kurus dan kulit hitam legam. Setiap hari membawa pasir naik
turun. Dari lantai dasar menuju ke lantai satu hingga lantai lima.
Tubuh
memang hancur ditelan usia dan kerja keras yang tak pernah usai. Tapi harga
diri tegak berdiri. Hidup memang tak mudah tapi bukan berarti kita berhenti
berusaha.
Hidup
di India mengajarkan diri merangkai rasa Syukur berlebih. Kehidupan suatu
negeri tak bisa dihakimi dalam waktu singgah. Butuh waktu untuk menyelami dan
memahami.
14 $type={blogger}
saya pernah baca cerita temen saat dia ke India bareng suaminya.. makan di KFC, dan lgs ga napsu makan, krn di jendela2 banyak bgt anak2 kecil yg ngeliatin mereka makan... miris bgt mba.. :( Segitu miskinnya ya negara ini?
ReplyDeleteIya, memang banyak anak jalanan dengan wajah kumus kumus memperhatikan apalagi Foreigner. Saya punya draft nulis tentang anak anak jalanan dan anak anak India pada umumnya. Miris banget memang mbak.
DeleteHampir 30 % atau sekitar 350 Juta jiwa dibawah kemiskinan. Bahkan ada yang bilang, lebih dari itu. Kalau ke India satu pelajaran yang sangat berharga.... RASA SYUKUR
Iya bener banget. Persis yang dibilang Ahlan di artikelnya. "Beruntungnya saya lahir di Indonesia."
DeleteIndia itu timpang banget kaya-miskinnya. Indonesia mungkin seperti itu juga, cuma India lebih nampaknya.
Kalau sudah pernah datang ke India, pasti Dah bersyukur lahir di Indonesia.
DeleteYap, betul sekali sebenarnya sama dengan negara kita cuman di India begitu kentara dari setiap sudut kota pasti ada dan tampak nyata. Kompleks.
wah keren yah mbak kapan yah saya bisa sampai indoa mantap euyy....
ReplyDeleteSemoga, Ya.... Segera menjejak India :) Aamiin.
ReplyDeleteSampe speechless, bingung mau komen apa..
ReplyDeleteCuma bisa berdoa, semoga kita termasuk dalam golongan orang-orang yang selalu bersyukur ya mbak.. Dan semoga Allah senantiasa menjaga mereka, para ibu yang mbak Zulfa ceritain di sini..
Ya, Kalau lihat keadaan kayak gini didepan mata, Kita salut dan hanya bisa Berdoa.
DeleteKita yang seger meger dan sehat serta diberikan kesempatan oleh Allah mendapatkan pekerjaan yg lebih baik segera memenuhi hati dengan Syukur. Poleh mewek (
Wanita2 hebat yg bekerja banting tulang demi anak :-)
ReplyDeleteYa, Semoga anaknya menjadi anak yang sukses. Aamin
DeleteDuhhhhhh, dengan melihat dunia luar, jadi terasa, ya...kalau tak terhitung hal yang harus kita syukuri. Pas ke Italia aja, yg merupakan salah satu negara Uni Eropa, banyak sekali kami ketemu tunawisma. Orang2 tua, laki, perempuan. Bahkan ada satu keluarga tidur di depan stasiun. Alasnya kertas kardus. Ya Allah, waktu itu aku tersentuh banget. Meski tinggal di apartemen kecil, masih ngontrak pula, tapi tiap hari masih bisa tidur di kasur empuk dan hangat. ira
ReplyDeleteTernyata Negara semaju Italia dan berada di jantung Eropa juga masih ada tunawisma, Apalagi negara yang miskin miskin.
DeleteIya mbak, meski rumah kontrak masih ada tempat berteduh dan masak. Alhamdullilah reeki, makan tiap hari. Syukur memang kunci urip tentrem.
Betul mbak..jadi inget pengalaman di Delhi lagi nunggu taxi didatengin pengemis anak kecil perempuan umurnya sekitar 10 tahunan..maaf kalo digambarkan kecil n de kumel,seperti yg nggak pernah mandi sebulan.Tiba- tiba dia melakukan ritual India menyentuh permukaan telapak kaki saya dan memberi salam setelah saya memberi sedikit ruppes.kemudian lari bahagia dan tertawa lepas berlari menemui ibunya yg sedang duduk diemperan toko dengan menggendong bayi.Sambil berfikir dan bertanya dalam hati dimana ayahnya ?
ReplyDeleteJadi terharu, memang anak2 jalanan INI kunyel banget berbalut debu. Bukan hanya pengemis mbak, kadang pelayan restora kalau kita kasih tips, mereka past I nyentuh telapak kaki kita, hari jadinya.
Delete