24 Hours Journey to The Heaven of The Earth [2]
February 12, 2015
10 Jam berlalu. Waktu menunjukkan pukul enam pagi ketika kami sampai di stasiun Jammu. Deretan kran diatas tembok stasiun penuh dengan orang gosok gigi dan mencuci muka. Wajah wajah lesuh duduk diatas tas dan lantai. Sebagian masih menikmati mimpi di antara pluit panjang kereta api. Sebagian sibuk dengan jadwal kereta.
Kami mendatangi kantor turis yang berada di sebelah stasiun yang masih tutup. Setelah menunggu 30 menit, akhirnya buka. Si bapak menjelaskan, bahwa bus menuju Kashmir berangkat sebelum jam 7 pagi. Kami segera bergegas ke terminal Jammu
Di depan stasiun sebenarnya banyak kendaraan yang menawarkan perjalanan menuju Kashmir dengan biaya 800 Rupees (Rp. 160.000). Kami memilih menggunakan bis dengan biaya 300 Rupees. Setelah nego plus eye eyelan dengan autorikshaw wallah (sopir bajaj) akhirnya sepakat. 150 Rupees dari stasiun kereta menuju terminal Jammu yang berjarak + 7 KM.
Kota Jammu nampak sepi. Sesekali emak bernafas panjang. Membiarkan udara bersih menyapa paru paru. Terlalu lama Paru paru ini dijejali dengan udara kotor Delhi. Menyesak oksigen terpopulasi di dunia.
Sampai di terminal Jammu. Bus menuju Kashmir tak kami temukan. Kami datangi loket pembelian tiket. Ternyata masih tutup. Kami bertanya kepada beberapa kondektur. Apakah bus menuju Kashmir sudah berangkat atau belum. Mereka mengatakan belum. Kami kemudian bertanya, jam berapa loket akan buka. Tak ada kepastian jawaban.
Kami sepakat menunggu bus hingga jam 9. Jika masih tidak ada, kami akan melanjutkan perjalanan dengan menaiki mobil MPV.
Terminal Jammu tak ubahnya terminal antah berantah. Deretan bus usang berjajar disertai bau urine. Suara bus menderu. Mengepulkan asap yang sangat menyesakkan dada. Teriakan lantang para kondektur. Lantai menghitam dengan tembok dan tiang yang dipenuhi berbagai tempelan kertas yang mengelupas. Kotor dan amburadul.
Emak masih teringat tatapan wajah itu. Wajah yang menatap kami begitu dalam. Wajah desa bertampang lesu. Begitu kontras dengan warna pakaian yang dikenakan. Entah darimana dan mau kemana dengan setumpuk barang mereka bawa. Seolah mereka pasrah dengan ketidakpastian yang menyiksa.
Terserak gelandangan tertidur lelap dilantai yang kotor. Seolah tak menghiraukan dengan segala hiruk pikuk dan keramaian yang ada. Terbuai dalam mimpi indah dan terlupa akan kehidupan nyata.
Menghilangkan rasa bosan. Sesekali kami bercanda. Kadang kami berjalan. Bertanya kesana kemari. Semua memberikan jawaban yang sama. Ketidakpastian.
Perut emak mulai protes. Ingin sekali emak nyruput teh dan gorengan hangat yang terbuka telanjang diantara asap bis. Keinginan itu emak telan mentah mentah. Emak tak ingin perut ini bermasalah. Terpaksa membiarkan perut ini kosong diantara kegalauan.
Suasana Terminal Jammu |
Dua jam berlalu dan waktu menunjukkan pukul 9 lebih. Bus menuju Kashmir tak kunjung tiba. Akhirnya kami memilih menggunakan mobil yang berderet diluar terminal. Kami nego dengan mulut berbusa, semua menawarkan harga yang sama 800 Rupees. Harga mati!
Mobil tempo traveller berkapasitas 15 penumpang ini segera berjalan meninggalkan terminal. Di deretan paling depan duduk pak sopir dan anaknya. Kedua kepala mereka terbungkus Turban. Dengan brewok menghiasi wajah. Dari Turban yang mereka kenakan menunjukkan mereka beragama Sikh.
Barisan kedua, disebelah kiri Endah, ditengah ada Wilson dan sebelah kanan seorang nenek bersama cucunya yang cantik jelita. Deretan belakang, Lamda dan sepasang suami istri bersama anaknya. Sedangkan deretan paling belakang, berurutan Rani, Emak, Fery dan Jarjit, dia saudara dari si cantik jelita.
Jalanan tak lagi lurus. Terus berkelok mengitari baris perbukitan. Emak biarkan jendela mobil terbuka. Gantungan alam berwarna abu abu memuncratkan gerimis menyentuh wajah emak yang manis.
Dihadapan mata, baris perbukitan tak teratur. Tapi nampak menyatu dalam sebuah harmoni alam. Air terjun menyelinap diantara batu perbukitan. Terjatuh dan menyatu dalam deras aliran sungai. Terkadang air terjun berada disebelah jalan. Terjatuh diatas bebatuan dan memuncratkan air dingin di kaca mobil.
Pedesaan bertengger diatas perbukitan. Juah dari dunia hingar bingar perkotaan yang membosankan. Alam seolah berjalan lambat. Nan jauh disana. Sebuah rantai pegunungan bertudung salju berdiri menunggu.
Panorama perbuitan selama dalam Perjalana dari Jammu menuju Kashmir |
Sungai meliuk membelah perbukitan. Lintasan alam yang mengalirkan nadi kehidupan menghijau di kaki perbukitan. Sesekali si sexy meliuk dengan penuh gairah disebelah kami. Begitu derasnya, menggerus bebatuan yang disentuhnya. Arusnya yang jernih kehijuan memabukkan sekaligus mematikan.
Liuk Sungai menemani sepanjang perjalanan |
Deretan Jembatan yang terlalui |
Terdengar siulan truk du li lit dengan alunan yang khas. Kendaraan kami berhenti. Serombongan domba, kambing, kerbau, kuda berjalan beriringan dengan sang gembala. Tangannya membawa sebuah ranting kayu. Dengan sebuah ikatan kain di kepala dan pinggang. Dibelakangnya, sang istri menggendong anaknya di punggung. Sementara dikepalanya bertumpuk peralatan masak. Sesekali sang gembala berteriak dan bersiul meminta para ‘rombongan’ berjalan dengan ‘rapi’. Seolah sang gembala dan gerombolan hewan ternak terhubung dalam bahasa kalbu. Membuat mereka saling mengerti satu dengan lainnya. Suguhan alam yang membuat emak selalu awas, menangkap ‘adegan’ dalam jepretan kamera.
Penggembala Mengarak Domba, Kuda, kerbau yang banyak kita jumpai di sepanjang perjalanan |
Kami berhenti disebuah Dabbah wallah (warung) dilereng bukit. Menikmati menu nasi dalam siraman curry kacang merah. Sesekali nampak truk truk tentara melintas beriringan. Kontras memang. Alam menawarkan ketenangan. Sementara manusia sibuk mengalirkan darah demi alam itu sendiri. Kemolekan Kashmir yang menggoda, sisa sisa perang yang mungkin tak akan pernah padam. Kemolekan yang membius nafsu untuk ‘membunuh’. Camp camp tentara terserak diantara lekuk perbukitan. Menjaga kemolekan ‘sang gadis’ agar tak tersentuh lagi oleh ‘tetangga sebelah’. Nuansa tegang dengan deretan tentara lebih terasa tatakala kami sampai disebuah tunnel didalam perut bukit.
Diantara ketegangan dan kemacetan menunggu giliran melewati Jawahar Tunnel yang berdiri sejak 1956. Tunnel yang menghubungkan Jammu dan Kashmir. Termenung diantara kekakuan. Emak dan teman teman keluar dari jeep. Sibuk dengan segala kekonyolan kami. Berlari dan selfie, sibuk narsis berlatang belakang tunnel sepanjang 2,75 KM. Tak peduli sorot mata puluhan tentara, sopir dan penumpang menatap kami dengan senyuman. Dalam hati mereka berkata ‘Turis edan..... J’.
Narsis di Jawahar Tunnel |
Gelap, diiringi suara sirine dalam tunnel yang lembab. Yang terlihat hanyalah lampu lampu cembung menempel di tembok tunnel. Memancarkan cahaya merah yang redup. Kami yang terbiasa pecicilan hanya terdiam. Tersirat aroma sihir dari dalam tunnel. Atau kami kawatir jika tunel tua ini tiba tiba ambruk menimpa kami.
Melewati tunnel, pemandangan alam khas Kashmir mulai terasa. Kami melewati Lembah Titanic. Baris pegunungan berselimut salju yang sedari tadi menunggu. Sekarang berdiri gagah dihadapan kami. Mengumbar senyum menawan seolah berkata selamat datang.
Dingin nya udara bagaikan sebuah ketjupan di pipi. Selimut dan jaket membalut badan. Lelah, kami terlelap dalam tidur hingga sampai di kota Srinagar. 12 jam dengan suguhan alam yang tak akan terlupa. Menyatukan orang asing dalam balutan kekeluargaan. Kami tak ubahnya satu keluarga. Tek segan menawarkan makanan ringan, selfie dan tertawa bersama. Ya, tawa adalah bahasa yang mendunia.
24 jam yang ‘nampak’ begitu melelahkan tak sebanding dengan pemandangan alam yang tersuguh. Tak sebanding dengan kehangatan keluarga baru. Ah, rasanya 3 hari pun emak rela. Perjalanan terasa bermakna tatkala nurani kita mau terbuka dengan keadaan yang ada.
18 $type={blogger}
Demi pemandangan indah seperti itu, lebih dari 24 jam pun rasanya saya rela mbak...
ReplyDeleteRela banget ... kalau terus ke Leh Ladakh Bisa 3 hari. Nggak kebayang sama Panorama yang tersaji . Melewati dua jalanan tertinggi di Dunia. Melewati Desa terdingin kedua di Dunia. Kapan ??? Biarlah waktu yang menjawabnya :)
DeleteCelengan ...... mana celengan
Wuih wuihh... bahasane tambah puitis wae, Rek... Asyikk moco ceritane... Matur nuwun, ya.. Dientheni sambungane terus. ira
ReplyDelete*ngikik* Biasane nek kango media puitis mbak. Nek Kanggo blog gawe bahasa pecicilan. Ben bedo. La.... saiki kuwalik. Nang Media malah kakean cerito ngikik. Blog malah putisi. Mengalir wae mbak :) Kadang alu nulis karo mesem mesem gara gara tulisanku dewe. hahaha
DeleteNulis itu memang "sesuatu" banget ya mbak ..... Hobi baca sekarang nyemplung Hobi Nulis #ketagihan. Semoga Istiqomah.
Rasanya ingin tutup mata dari postingan ini, apa daya, aku tak mampu huuhuhuhuhu
ReplyDeleteIndia itu.... ah....
Welcome to Dunia racun :)
Deleteasiiikk baca blog inii.. berasa terlibat di dalamnya ngerasain yang ditulis mb zulfa.. seruu ngebolang ya mba.. salam kenal ^_^
ReplyDeleteMatur nuwun Mas Satria :) Salam Kenal juga.
DeleteBenar banget mbak e "Menyatukan orang asing dalam balutan kekeluargaan" :D
ReplyDeleteBaca cerita mu ini benar-benar kangen masa-masa indah itu #lolbackpacker
Hayooo kita explore lagi, buat kenangan lagi. ngikik dan ngakak lagi. hehehe
DeleteDarjeling sama Sikkim yuk ... Trus lanjut Nepal ... Lanjut Tibet juga OK. Semoga nggak dipecat ama pak Bos gegara Cuti panjang. Paling pak Bos bilang ..... Cuti aja selamanya. hahaha
Aaaah...Kashmir. Salam kenal Mbak Ira. JKL adalah salah satu destinasi impian saya. Fotonya besarin lagi dong ya, biar enjoy menikmati panorama alamnya. Keep writing. Tak sabar menunggu terusan ceritanya.
ReplyDeleteSaya follow blognya ya :D
www.linasasmita.com
Salam Kenal Mbak Lina. Ini saya Zulfa. kalau Mbak Ira itu suhu travel writer pemilik keluarga pelancong.
DeleteAyo mbak Lina bareng. Itu Dee an juga rencana kesana. Insya Allah Foto "surga" nya saya besarin.
Thank you
kereeeeen ya perjalanannya...tapi agak parnoan jalan ke India konon ngga aman buat perempuan
ReplyDeleteMakasih. Klo perempuan mending bareng sama temen cowok. Paling tidak satu. Kalau perempuan aja, Hindari perjalanan Malam. Atur itinerary dengan bagus biar nggak parno. Kita pernah tengah malam ngemper di terminal dan banyak orang yg membatun selama dalam perjalanan. Baca Running Like a Crazy To Manali
DeleteBaru mampir udah suka sama tulisannya :)
ReplyDeletewww.fikrimaulanaa.com
Matur nuwun dah Mampir. Hadew ..... Kesandung, hidungku sampe kembang kembis. hehehe
DeleteMeluncurrr mampir kesana :)
Mbak zulfa..
ReplyDeleteBagaimana kalau sampai jammu nya jam 3 siang ,masih bisakah dan masih adakah kendaraam umum ke kashmir
Gpp, ke kashir selalu adayang share cost taksi tpi klo sendirian nggak saranin ya.
Delete