Festival Tidore | Parade Juanga
January 13, 2018
Parade puluhan perahu hias Kesultanan Tidore mengarungi lautan sebagai napak tilas perjuangan melawan penjajah.
Kaki saya gegas melangkah meski terbebat sewek. Langkah langkah pendek berirama dengan nafas cepat membuat peluh badan dalam balutan baju putih. Setelah semalaman menjadi saksi mata ritual adat Rora Ake Dango, pagi ini saya sedikit terlambat dari jadwal untuk menghadiri Parade Juanga. Satu dari serangkaian acara dalam Festival Tidore 2017.
Menapakkan kaki di pintu gerbang Kadato Kie, istana Kesultanan Tidore, mata saya menebar pandang ke sekeliling halaman. Tempat tinggal Sultan Tidore berlatar belakang Kie Matubu nampak lengang. Tarikan nafas panjang terhembus bahagia, Alhamdulilah acara belum dimulai.
Beberapa lelaki dalam balutan busana adat warna putih berdiri di balkoni istana berlantai dua ini. Berada di lantai dua, deretan kursi dan meja tertata rapi. Beberapa tamu undangan yang didominasi kaum adam bercengkrama dengan hangatnya. Dari atas balkoni, pemandangan laut biru berserak pulau menjadi penyegar mata.
Masuk kebagian dalam istana, Singhasana sultan berdamping mesra dengan Singhasana permaisuri. Deretan bendera berwarna putih, hitam dan merah bertuliskan huruf arab mengapit Singhasana. Kursi kursi ukir berukuran besar menghiasi bagian dalam Istana. Dinding dihiasi dengan foto foto lama, bentangan peta, deretan alat perang tradisional dan silsilah Kesultanan Tidore
Mata tercuri pandang dengan sebuah peta tua yang nampak tak biasa. Mengamati dalam dalam, garis putus putus yang menjadi garis batas ini menunjukkan betapa luas kekuasaan kesultanan Tidore kala itu. Membentang dari Halmahera hingga Papua.
Pengetahun tentang sejarah Kesultanan Tidore semakin menarik ketika pagi itu kami bertemu dengan bapak Muhammad Ali Athing. Beliau adalah Kapita Ngofa, panglima tertinggi keamanan di kesultanan Tidore. Berperawakan tegas, mengenakan baju keberasan seorang panglima llengkap dengan topi.
Cerita mengalir dimulai dengan sebuah kisah seorang syuhada dari tanah Arab, bernama Sayyid Jafar Sadik menikah dengan seorang wanita pribumi dari Ternate bernama Nur Syafa. Mereka dikarunia empat putra yang menjadi cikal bakal empat kerajaan besar di Maluku Utara yang dikenal dengan istilah Moluku Kie raha atau Maluku Kie Raha. Yaitu kerajaan Tidore, Ternate, Bacan dan Jailolo.
Kerajaan Tidore sendiri berdiri ketika Muhammad Naqil naik Tahta pada tahun 1081. Ketika Islam berkembang Islam pesat pada akhir abad ke 14, agama Islam dijadikan agama resmi kerajaan, sekaligus mengubah tatanan Kerajaan menjadi Kesultanan. Sejak itu pula nilai nilai Islami mengakar kuat dalam nadi kesultanan Tidore, bersinergi dengan adat budaya yang selalu dijaga hingga detik ini.
Asyik mendengarkan cerita beliau, terdengar tetabuhan tifa dari kejauhan. Kami menyudahi perbincangan dan melangkahkan kaki menuju teras istana.
Rombongan laki laki mengenakan pakaian putih mengarak air suci dengan diringi tabuhan Tifa. Air suci telah disemayankan semalaman dalam prosesi ritual adat nan sakral, Ake Dango. Perjalanan Ake Dango dari desa Gura Bunga di pangkuan Kie Matubu berakhir di Kadato Kie.
Sultan Tidore ke-37, Husain Syah beserta pemangku agama, pemangku adat, Walikota Tidore dan seluruh tamu menunggu kedatangan air suci dengan penuh khidmat. Semua yang hadir dalam ritual adat mengenakan pakaian adat lengkap.
Air suci dalam bambu berpenutup kain putih diserahkan kepada Sultan secara langsung. Dengan bacaan Basmallah, Sultan menuang Ake Dango kedalam mangkok putih. Kemudian meneguknya. Dilanjutkan dengan ritual doa bersama yang dipandu oleh babato agama.
Setelah menikmati jajanan tradisional dalam acara ramah tamah, kami berjalan menuju dermaga kesultanan. Letaknya tak jauh dari Katado kie yang juga berada di Sia Sio, ibu kota Tidore Kepulauan.
Senyum sumringah menghiasi raut bahagia ketika manapakkan kaki di dermaga. Puluhan perahu tradisional berhias janur dan bendera terserak dilautan berlatar belakang baris perbukitan pulau Halmahera. Perahu perahu ini adalah armada bala tentara Tidore yang dikenal dengan Kora Kora.
Puluhan perahu hias ini akan berkeliling mengitari Tidore kepulauan dalam sebuah ritual dikenal dengan parade Juanga. Tak sekedar berkeliling, mereka juga melakukan sebuah napak tilas perjuangan armada perang Tidore yang dikenal dengan Ritual adat Lufu Kie. Seperti yang tertulis dalam sejarah panjang negeri kita, Tidore yang dikenal sebagai penghasil rempah terbaik di dunia menjadi incaran negara negara Eropa di masa kolonialisme.
Diatas armada para wanita dan lelaki mengenakan pakaian adat. Ada yang berpakaian serba putih berpadu dengan sewek. Ada yang mengenakan baju serba hitam, serba merah, dilengkapi dengan ikat kepala dan parang dipinggangnya.
Diantara puluhan armada, ada satu perahu yang mencuri pandang. Bentuknya lebih besar dari perahu lainnya dan bersandar di ujung anjungan dermaga. Bagian dalam perahu dihiasi kelambu putih. Diatas kapal berdiri pasukan lengkap dengan parang, ada yang berpakain serba hitam, serba merah dan ada yang memakai baju putih. Dari perahu ini terdengar lantunan musik tradisional. Ini adalah Armada Kesultanan Tidore.
Saya bersama teman teman memilih berpencar. Ada yang menaiki kapal dengan pasukan serba hitam. Ada yang bersama perahu berbaju putih. Dan saya memilih berada di armada Sultan Tidore.
Waktu yang ditunggu tunggu telah tiba ketika Sultan Husain Syah dan Jou Boki (permaisuri Tidore) berjalan kaki dari Katado Kie menuju dermaga. Diawali berdoa bersama, kemudian melangkah masuk kedalam armada beserta para Babato Adat, Babato Agama, Walikota Tidore dan wakilnya berserta tamu undangan lainnya.
Kapal melepas jangkar, meninggalkan dermaga. Kora kora para bala tentara bergerak membentuk sebuah formasi khusus mengelilingi armada Sultan. Formasi ini dikenal dengan Hongi Taumoi Se-Malofo.
Formasi depan dikawal oleh dua armada (perahu) Gimalaha laho dan Gimalaha Tuguwiha. Bagian samping dikawal oleh armada Gimalaha Tungwai dan Kimalaha Dokiri. Bagian belakang, dikawal oleh pasukan Mare dan Sangaji Laisa. Kemudian diikuti oleh puluhan kora kora bala tentara rakyat yang mewakili kampung masing masing yang turut menyemarakkan Parade Juanga.
Formasi ini sama dengan formasi awal ketika Sultan Nuku (Sultan Tidore ke-30) memimpin perjuangan melawan penjajahan. Di masa itu, Kesultanan Tidore dan kesultanan Ternate terpecah belah akibat persaingan dan juga politik adu domba penjajah. Dibawah kecerdikan dan keuletannya, beliau berhasil menyatukan kembali Ternate dan Tidore yang saat itu terpecah belah oleh taktik adu domba Belanda. Kisah perjuangan inilah yang menjadi penanda diadakannya parade Juanga hari ini.
Sebelum berlayar mengarungi lautan menuju Ternate, armada Sultan bergerak memutar sebanyak tujuh kali. Baru setelah itu keseluruhan armada bergerak bersama mengelilingi Tidore kepulauan. Diatas lautan, nampak Kie Matubu berselimut awan putih berdiri tegak memberikan izinya.
Semesta begitu cerah. Biru merajai langit, arakan prajurit awan putih seolah menjadi penyerta dalam parade Juanga. Diri ini hanyut dalam ayunan ombak, desiran angin yang berirama dengan lantunan musik tradisional yang mengalun menenangkan jiwa.
30 menit berlalu, pulau Ternate yang berada di sebelah Utara kepulauan Tidore menghampar indah dihadapan kami. Lekuk gunung Gamalama menyembul begitu sempurna. Gunung merapi yang menguasai kepulauan Ternate berdiri tegak menyambut kedatangan kami. Awan putih yang melingkarinya seolah memberikan kesan sebuah senyuman.
Armada merapat di dermaga kesultanan Ternate. Nampak indah Masjid Al Munawar yang berdiri megah disampingnya. Ribuan masyarakat berjubel menyaksikan kedatangan armada kesultanan Tidore di pelabuhan Residen Ternate.
Kedatangan armada Tidore disambut secara langsung oleh walikota Ternate, Burhan Abdurrahman. Iring iringan kemudian berjalan menuju tanah raja atau biasa dikenal dengan kafaton Tidore. Tarian penyambutan dan acara ramah tamah berlangsung begitu dengan khidmat dan meriah.
Ditemani awan hitam, angin dan hujan armada kesultanan Tidore bersama bala tentara kembali membelah lautan. Parade ini diakhiri dengan perjalanan pulang kembali armada kesultanan menuju Tidore. Parade Juanga ini seolah menjadi penegas rangkaian Festival Tidore 2017 yang mengangkat tema “Merawat Tradisi, Mempertegas Jati Diri bangsa Maritim”.
11 $type={blogger}
Yes! Ini petualangan laut terkeren yang pernah kualami, selain diterjang ombak besar pas naik kapal ferry nyeberangi Selat Sunda dan sebelum aku ketakutan setengah mati dalam speedboat pas nyeberang sama Alex ke Ternate, Agustus lalu. Sayang nggak bisa bikin banyak dokumentasi selama perjalanan karena cuma pegang action cam dan hape yang ngedrop. Hiks.
ReplyDeleteBtw, untung aku ikut Kagunga pas pulangnya. Hujan deras di tengah laut, aku aman hehehehe.
Lho, sampeyan pulangnya ikut kanguna... makanya sampeyan nggak ikut kita terombang ambing dalm hujan. seruuuu. aku malah ketiduren dalam perahu waktu pulang itu, bangun bangun dah nyampe Tidore. :)
DeleteSalam kenal kak, ya ampun festivalnya seru banget, jadi pingin kesana.:)))
ReplyDeleteIni salah satu rangkaian acara terseru, apalagi pas pulang ke Tidore hujan deras. Bareng Bams menggila di atas kapal hahaha. Jadi penasaran gimana rasanya kalau mengelilingi Tidore full ya hehe
ReplyDeleteKeren banget. Semoga suatu hari nanti bisa ke Maluku! :)
ReplyDeleteSambil baca, pikiran saya berkelana ke buku PSPB, Mak :D
ReplyDeleteDikit-dikit ingat dengan kerajaan Ternate dan Tidore. Pengalaman mahal ini Mak bisa melihat langsung Festival Tidore
andai tahun ini berjodoh bisa balik lagi ke Tidore ya buat liput acara ini. pasti aku gak bakal nolak.
ReplyDeleteMenarik juga disimak festival ini.
ReplyDeleteSemoga kelak kesampaian kesana ☺
baca reportasenya lengkap sekali jadi pengen ikutan. Untuk bisa ikut biayanya habis berapa mba?
ReplyDeleteBerasa merinding bacanya mba.. Lgs kebayang tentara maritim yg kuat, trutama zaman dahulu ya... Keinget belajar sejarah dulu pas bahas ternate dan tidore..
ReplyDeletebagus banget mba tulisanmu..
ReplyDeleteprospek saham mayora