Lost In Old Delhi (1)
May 20, 2015
Selama blusukan ke kawasan kota tua Delhi. Mata hati seakan dituntun merasakan
rona kehidupan negara semilyar penduduk. Kerasnya hidup, berjubelnya penduduk
dan himpitan ekonomi tak menghentikan gerak kehidupan untuk terus berusaha
serta mempertahan nilai budaya dan adat yang menjadi warisan kekayaan bangsa.
Riuh suara klakson bertautan
bak tiupan terompet tanpa tangga nada. Antrian bus mengular memenuhi jalan, mesin autorikshaw (bajaj)menderu laksana mesin
tua. Teriakan
keras sopir e-rikshaw menawarkan jasa diperparah jajaran rikshaw (becak) tak
beraturan diantara kemacetan jalan.
Mobil terparkir memenuhi
akses badan jalan. Ramai orang lalu lalang tak tentu arah.Wajah kusam dan
kunyel para perkerja membawa setumpuk karung goni dikepalanya. Pengemis dan gelandangan disepanjang
trotoar jalan dengan pakaian kotor dan wajah lesu menanti sekoin uang.
Bangunan tua tingkat
berdempet nampak kotor dan menghitam. Kabel listrik amburadul bagaikan benang kusut. Diperparah dengan sampah yang
berserakan. Terdengar alunan lagu dan doa diiringi musik tradisional dari corong
speaker. Aroma rempah dan dupa berbaur menjadi satu. Begitulah potret hiruk pikuk keramaian kota tua Delhi
yang berada di Ibukota India.
Mandir (Kuil Hindu) Dipertigaan Red Fort |
Suasana Pertigaan Lal Qila, menuju Chandi Chowk |
Meskipun padat dan
ramai, saya sering menghabiskan waktu di kawasan yang sering disebut dengan
nama Old Delhi. Sekedar jejalah
monumen bersejarah, berburu kerajinan tangan hingga memuaskan lidah dengan aneka
menu street food dan masakan Mughlai yang
selalu bikin ngiler. Kawasan
bernuansa ‘The Real India’ bagaikan menghirup masa
lalu, menembus waktu dengan segala
keunikan dan eksotisme yang
mampu menghipnotis.
Kagum akan kemegahan ikon Old Delhi yaitu Lal Qila
atau biasa disebut Red Fort yang
mampu menyedot ribuan wisatawan setiap tahunnya. Iseng iseng saya membuka Internet
membaca tentang sejarah dan kejayaan kekuasaan era Mughal kala itu. Menurut
sejarah, Lal Qila adalah
bagian dari sebuah kota yang dikelilingi oleh tembok benteng pertahanan yang dilengkapi
dengan 14 pintu gerbang, kota tersebut bernama Sahjahanabad.
Nah, kota Sahjahanabad saat ini akrab
dikenal sebagai Old Delhi.
Kota tua didirikan
pada abad 16 oleh seorang raja generasi kelima kekaisaran Mughal yang bernama
Shah Jahan. Yah, beliau tak lain adalah sang pendiri bangunan melegenda penuh
cinta Taj Mahal. Beliau memindahkan pusat pemerintahan yang berada di Agra
(kota tempat Taj Mahal menebar pesona)
dan membangun sebuah pusat pemerintahaan baru di Delhi.
Sebenarnya saya bukan
tipe traveller yang fanatik dengan bangunan
sejarah. Saya lebih menyukai explorasi alam dan berbagai tantanganya. Tapi, rasa penasaran menjadikan saya traveller ‘nyeleneh’ blusukan
menelusuri kelima gerbang yang masih tersisa dan membayangkan betapa cantik Old Delhi kala itu.
Pagi hari saya mulai
dengan menyruput segelas Chai, teh
ala India yang diseduh dengan susu. Memulai perjalanan dengan menikmati
getaran halus autorikshaw ditemani suami. Dua puluh lima menit kemudian
sampailah kami di Lal Qila dengan
membayar 135 rupees atau sekitar Rp. 27.000, Bahoot
sukriyah (terima kasih banyak) ucap saya kepada sopir
autorikshaw.
Kami sengaja
mengunjungi Lal Qila
terlebih dahulu kemudian dilanjutkan blusukan mencari setiap gate (pintu
gerbang) yang tersisa. Lal Qila terletak di persimpang Jalan. Lurus di depan
dengan Lal Qila terdapat kawasan Chandi Cwok, sebelah kanan menuju arah Utara dan
sebelah kiri menuju arah Selatan.
Seperti biasa Lal Qila hari ini dipenuhi dengan turis
lokal maupun mancanegara. Antrian yang mengular tak dapat dihindari ditambah
dengan security cek yang lumayan
ketat. Dengan membayar 250 rupees (warga negara asing) tiket sudah ada
ditangan.
Istana Shah Jahan
dikelilingi tembok benteng pertahan setinggi 18 meter hingga 33 meter
membentang sepanjang dua 2,5 kilometer dan merupakan monumen terbesar di Delhi.
Kaki benteng dialiri kanal air selebar 2,5 meter. Keseluruhan benteng dan
tembok istana dibangun dari batu bata warna
merah, itulah sebabnya istana megah disebut Lal Qila (istana merah).
Pintu gerbang utama
Istana nampak gagah dan kokoh menyambut setiap penunjung yang datang. Disinilah
tempat pengibaran bendera oleh Perdana Menteri India ketika upacara kemerdekaan
berlangsung. Dipelatarannya tempat narsis para wisatawan dengan beraneka macam
gaya dan model, bersiaplah dengan banyaknya kepala nongol dalam jepretan
kamera.
Melewati gerbang, Chatta chowk (pasar dalam istana) dipenuhi deretan para penjual souvenir
menjual berbagai macam produk mulai dari tas, aksesoris hingga dekorasi rumah.
Sebuah istana seluas 103 hektar diperindah taman hijau dan kolam mancur ditengahnya. Berbentuk octagonal, layaknya sebuah istana
terhampar tempat tinggal dan beberapa monumen sesuai dengan fungsinya masing
masing diantaranya Masjid Monti, Dewan-i-am,
Dewan-i-khas, Hamman Nahr-i-behisht,
Mumtaz Mahal, Rang Mahal, Khas Mahal, shahi Burj, Hayat Bakhshdan Princes’s Quater.
Gate di sisi Samping |
"Penampakan" di dalam istana merah |
Gerbang Dalam Lal Gila menuju Chatta Chowk |
Puas mengelilingi istana kami lanjutkan ‘misi’ explorasi mencari letak gerbang kota. Dipertigaan lal Qila ramai para sopir E-rikshaw menawarkan transportasi menuju Khasmere Gate. E-rikshaw kepanjangan dari Elektronik rikshaw, sebuah becak India bertenaga baterei mengakomodasi 4 hingga 6 penumpang dengan bentuk mirip tuk tuk Thailand.
Kitna Bhai tanya suami kepada E-rikshaw Wallah (sopir). Bees rupey (20 rupees) ucapnya. Dengan wajah heran suami mengernyitkan dahi dan suara agak lantang ek or dunno? (satu atau berdua). Dunno ko (berdua) jawabnya berarti 20 rupees untuk kami berdua. Begitulah ‘Art of Ngenyang’ (Jawa berarti tawar menawar) kita harus pandai menawar, kalau tidak bisa bisa kita kena palak. E-rikshaw melaju ke arah utara yang berarti arah kanan dari petigaan ini. Keduanya berjarak sekitar 2,5 Km.
Kedua sisi terhubung oleh tembok benteng kota yang nampak hancur. Masuk kedalamnya, terdapat ornamen tiga lengkung pintu yang berjajar. Melewati pintu terdapat ruangan kosong, nampak burung dara terbang kesana kemari diantara lobang lobang tembok. Menuju kebelakang, berdiri diantara kedua pintu sebuah batu informasi yang berisi daftar nama prajurit yang meninggal dan terluka dalam sebuah agresi rakyat terhadap kedudukan militer Inggris pada tanggal 14 september 1857.
Kitna Bhai tanya suami kepada E-rikshaw Wallah (sopir). Bees rupey (20 rupees) ucapnya. Dengan wajah heran suami mengernyitkan dahi dan suara agak lantang ek or dunno? (satu atau berdua). Dunno ko (berdua) jawabnya berarti 20 rupees untuk kami berdua. Begitulah ‘Art of Ngenyang’ (Jawa berarti tawar menawar) kita harus pandai menawar, kalau tidak bisa bisa kita kena palak. E-rikshaw melaju ke arah utara yang berarti arah kanan dari petigaan ini. Keduanya berjarak sekitar 2,5 Km.
Sepanjang perjalanan terlihat bangunan tua yang kusam dan situs situs bersejarah. Seperti monumen zaman penjajahan Inggris, Gejera St. Jamesh yang cantik dan Masjid tua dengan 4 menara menjulang. Setelah sepeluh menit menerobos kemacetan akhirnya sampai juga di Khasmere Gate, pintu gerbang sebelah Utara.
Khasmere Gate disebut demikian karena pintu gerbang ini menghadap ke arah propinsi Kashmir yang berada bagian Utara India. Bentuknya persegi panjang dengan ketinggian sekitar 6 meter dan terdapat dua pintu masuk diihiasai dengan tiga buah lengkung jendela. Areanya dikelilingi pagar besi yang dijaga oleh dua penjaga berseragam.
Khasmere Gate, salah satu pintu gerbang Kota Tua Delhi |
Perjalanan kami lanjutkan, balik lagi ke arah pertigaan Lal Qila menuju Kawasan Chandi Cwok. Kawasan jalanan ini dipenuhi dengan pertokoan dan street food yang berada tepat didepan Lal Qila. Berdiri dua kuil agama hindu berwarna merah bata dan putih, samar samar terdengar musik tradisional mengiringi alunan Doa dan semerbak aroma dupa menggelora.
Pertigaan ini selalu padat, ramai dan kacau meski terdapat lampu merah beserta rambu rambu lalu lintas. Rikshaw, sepeda motor, autorikshaw dan e-rikshaw menungkik maju kesegala arah melebihi garis batas penyeberangan jalan. Jadilah, pejalan kaki amburadul menyeberang jalan kesana kemari ditambah orkestra klakson panjang bertautan membabi buta, ruwet!.
Diantara kemacetan panjang kami memutuskan turun dan memilih berjalan kaki disepanjang jalan Chandi Chwok. Nampak toko toko tua berjajar menjual berbagai macam barang mulai Saree, baju dan Celana Ethnic, tas, sepatu, aksesoris, perhiasan, souvernir diselingi dengan jajanan pinggir jalan bahkan sebuah restoran cepat saji brand Internasional ada disini, pokoknya lengkap. Diseberang jalan terlihat sebuah biskop tua didepannya terbentang sebuah banner film India berjudul Gulaab Gang terpotret dua wanita tangguh dengan tatapan tajam.
Chandi Cwok berarti ‘pasar atau bazzar cahaya bulan’ dibangun oleh Shah jahan pada abad ke 16 dipersembahkan untuk putri kesayangannya bernama Jahanara. Dahulunya pasar ini berbentuk kotak mengelilingi sebuah kolam dan komplek pertokoannya berbentuk belahan bulan. Sayang, semua bentuk dan kolam sudah tidak nampak lagi yang terlihat hanyalah kesemrawutan disana sini.
Suasana agak lengang dan kemacetan terpecah disebuah simpang pertigaan jalan. Berdiri sebuah Gurudwara tempat peribadatan agama Sikh. Nampak laki-laki memakai penutup kepala Turban dan kaum perempuan menutup kepala mereka dengan selendang Dupatta. Meskipun saya sering melewati jalan ini, ternyata saya baru menyadari kalau corong pengeras suara melantunkan lagu berupa doa dan pujian dipertigaan Lal Qila berasal dari Gurudwara ini.
Kami lurus saja dan berhenti disebuah restoran cepat saji ala India, Haldiram yang menyuguhkan menu makanan vegetarian dan berbagai jajanan khas Chandi Cwok. Saya memesan Raj Khachori, santapan pembuka berbentuk bulat, dalamnya diisi dengan campuran tepung,kentang dan kacang polong berbumbu rempah disiram dengan yoghurt, saus tamarind dan sambal hijau menghasilkan perpaduan rasa yang pas manis, asam, asin dan pedas.
Lassi minuman sehat terbuat dari campuran susu dan yoghurt turut menemani perjalanan kami. Wanita berbalut kain saree menggendong anaknya berjalan dengan santai, bergerombol perempuan sibuk mencari pakain, pekerja membawa setumpuk karung goni bersuara lantang meminta setiap pejalan kaki untuk memberinya jalan.
Setiap toko memajang foto dewa berkalungkan bunga ditambah dupa berasap menyala. Anak anak pengemis jalanan mengikuti kami. Tergeletak gelandang tertidur lelap diatas emperan toko yang kosong.
Town Hall |
Diantara deretan toko dan jajaran jajanan pinggir jalan berdirisebuah gedung tua berwarna kuning berasitektur Inggris, Town Hall. Berada didepannya berdiri tegak patung tokoh pahlawan pejuang kemerdekaan Arya Samaj pemimpin Swami Shraddhanand. Dipelatarannya ribuan burung dara menikmati ‘hujan’ pipilan jagung yang dilempar oleh pengunjung dari balik pagar.
Pada sebuah tikungan jalan. Kami melihat sebuah gerobak beroda, ditarik seekor sapi. Hal yang hanya bisa saya lihat dipedesaan. Duduk diatasnya, beberapa laki laki berwajah campuran india bule.
Kami lanjutkan langkah menyusuri jalanan ini yang berujung pada sebuah masjid tua, Fatehpuri Masjid. Dibangun pada abad ke 16. Nama masjid diambil dari nama sang pemrakarsa, Fatehpuri Begum. Beliau adalah salah satu istri dari kaisar Shah Jahan.
Disini terdapat persimpangan jalan. Jika ke kiri (selatan) menuju Chowri bazar. Sedangkan Ke Kanan menuju Lahori gate. Persimpangan jalan ini, nuansanya tak jauh beda dengan pertigaan Lal Qila. Amburadul dan ruwet dengan semua kendaraan tak tentu arah.
Kami memutuskan menuju Lahori Gate. Bingung, bertanya kesana kemari mencari Lahori gate. Semua memiliki jawaban berbeda bahkan sebagian tidak tahu keberadaannya. Terus berjalan mengikuti arah jalan.
Kami melewati sebuah pasar tua dengan berderet penjual berbagai macam rempah. Aroma bumbu bubuk menyengak hidung. Membuat saya bersin terus menerus.Ternyata, pasar bernama Khari Baoli ini adalah pusat kulakan bumbu berbagai rempah, acar, herbal, beras, teh dan kacang kacangan dari penjuru India. Merupakan pasar rempah terbesar di Asia.
Setiap kali kami bertanya keberadaan Lahori Gate, kami tetap mendapatkan jawaban yang bervariasi. Kami hanya bisa pasrah mengikuti jalan hingga kami menemukan museum Walled city. Ya, Shahjahanad disebut juga Walled city. Berarti sebuah kota yang dikelilingi tembok benteng pertahanan.
Museum dengan kondisi tak terurus ini berada dijalan Lahori Chowk, diapit dua pasar. Khari Baoli dan pasar grosir terbesar di delhi, Sadar Market. Menjual berbagai macam produk mulai baju, sepatu, aksesoris, barang pecah belah dan sebagainya. Semua dijual dengan harga miring. Kelelahan, akhirnya kami memutuskan beristirahat. Dan melanjutnya mencari pintu gerbang lainnya keesokan harinya yang akan saya ceritakan dalam postingan Lost In Old Delhi (2)
Fatehpuri Masjid |
Khari Baoli, Pasar Rempah terbesar di Asia |
19 $type={blogger}
wah di india kece juga ya mbak hehe, orang india ke indonesia, kita orang indonesia juga jajah sana aahh hehe.. mantap mbak... belajar sama mbak zulfa ahh biar jalan" sampe luar negeri
ReplyDeleteYa, sekece penulis blog ini *plak*
DeleteAamiin, Jelajah luar dan dalam negeri . kata Orang.biar banyak pengalaman. :)
Waaa.... kalau liat penampakannya, kayaknya foto baru, nih... hihih. Sayang fotonya lagi gak pakai celana ethnik. :)
ReplyDeletehehehe, celana etniknya gantung di pertokoan mbak, ntar kalau aku pakai malah keliahatan eksotik :)))
DeleteKalo tersesatnya ke sini sih saya rela lahir bathin
ReplyDeleteIya, kalau tersesat disini malah mencerahkan kehidupan kita sendiri karena rasa syukur yang menyapa hati nurani.
DeleteSelalu terpesona kalau ke kota tua, apalagi kota tua Delhi. Bangunan benteng Lal Qila warna merah tanah itu terlihat anggun. Penampakan kece sang penulis blog, bikin mupeng pingin ada di sana juga. Moga tahun depan ikut nampang di sana bareng emak Najin yang hobi mbolang.
ReplyDeleteAamiin. Ya, andai kawasan ini ditata rapi kayak kawasan kota lama Jakarta.Pasti tambah kece banget. Tapi Justru amburadulnya India itu terkenal dengan istilan "Caotic beauty" :)
DeleteLupakan sama Penampakan itu mbak, bikin Sawanen yang baca blog. hahaha
Mbak...itu yang kuning-kuning rempah apa namanya?
ReplyDeleteWaktu kulihat itu kayaknya Kunyit kupas yang sudah dikeringkan. Di India (hampir) semua masakan mengguanakan kunyit bubuk.
Deletecantik yaaa kotanyaaa..
ReplyDeleteCantik dan India banget :)
DeleteJadi pengen punya celana etnik khas India heheheh
ReplyDeleteKalau Zahra cocok bingit, kayak aku yang pakai kelihatan "tenggelam dalam banjir" hehehe
DeleteBangunan-bangunan di kota tua Delhi cakep-cakep ya mbak... Baca tulisan sampean selalu bikin imajinasi melayang-layang. Langsung membayangkan perpaduan aroma dupa dan rempah... Semoga bisa kesampaian beneran ngebolang di India :)
ReplyDeleteIya, menurutku Delhi itu never ending beauty. Banyak sekali bangunan tua dan megah masuk UNESCO. Bahkan yg kecil kecil nggak terlalu terkenal maish banyak merasa dari ujung ke ujung.
DeleteAamin ya Allah.
sebenernya pngn ngikut ngebolang ke india tp g pny komplotan alias rombongan mba. semakin sy baca postingane njenengan semakin sy penasaran. Tp apa daya...........kira2 kl mau ke taj mahal,kashmir bisa ngabisisn budget brp ya mb?? hehehe mkst hati mau nabung dulu biar bs ke india beneran. Amiiiiiiiin
ReplyDeletesebenernya pngn ngikut ngebolang ke india tp g pny komplotan alias rombongan mba. semakin sy baca postingane njenengan semakin sy penasaran. Tp apa daya...........kira2 kl mau ke taj mahal,kashmir bisa ngabisisn budget brp ya mb?? hehehe mkst hati mau nabung dulu biar bs ke india beneran. Amiiiiiiiin
ReplyDeleteAyo ikut ngebolang, Aku sama temen temen Ada rencana piknik di India. InsyaAllah bulan Maret tahun depan, Delgi, Agra sama Kashmir. Kalau budget tergantung tipe perjalananan. Kalai Taj Mahal sama Kashmir, sekitar 6-8 jutaan dan termasuk tiket.cari pesawat AA atau tiger Air murah sekali tiketnya. Ayo nabung pelan pelan, lama lama terbang juga :)
Delete